Kamis, 21 Oktober 2010

KARAKTER PRODUK HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA DIPENGARUHI OLEH KONFIGURASI POLITIK

Oleh :
J.A. Mentang
NPM : 71010139



A.Pendahuluan
Pendapat ahli hukum Roscue Pound (Roscoe Pound dalam Soerjono Soekanto,1985,Hal : 30 ) yang menyatakan bahwa ”law as a tool of social enginering”. Pendapatnya menyatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah kehidupan politiknya. Wajar jika secara idologis mereka meletakkan hukum sebagai pemandu dan penentu arah perjalanan masyarakat, karena memang pada dasarnya hukum difungsikan untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya. Pendapat ahli hukum yang kedua mengacu pada pandangan Von Savigny yang menyatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, hukum tumbuh dan mati bersama masyarakatnya.(Soerjono Soekanto, 1985, Hal. : 9)

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dengan subsistem hukum, akan tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah ( Satjipto Rahardjo, 1985, Hal : 71). Mencerna pernyataan ini maka akan ditangkap suatu perspektif bahwa dalam kenyataan empirik, politik sangat menentukan bekerjanya hukum.Pengaruh politik dalam berhukum, berarti berlaku juga pada penegakan hukumnya, karakteristik produk-produk hukum, serta proses pembuatannya. Hal di atas dapat dilihat dalam fakta berhukum sepanjang sejarah Indonesia, pelaksanaan fungsi dan penegakkan hukum tidak selalu berjalan seiring dengan perkembangan strukturnya. Hal ini akan tampak jelas jika ukuran pembangunan hukum di Indonesia adalah unifikasi dan kodifikasi hukum, maka pembangunan struktur hukum telah berjalan dengan baik dan stabil. Karena dari waktu ke waktu produktifitas perundang-undangan mengalami peningkatan. Namun dari sisi yang lain, dari segi fungsi hukum telah terjadi kemerosotan (Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amin ; 1986, hal : 39-85).

Struktur hukum dapat berkembang dalam kondisi konfigurasi politik apapun dengan ditandai keberhasilan pembuatan kodifikasi dan unifikasi hukum sebagaimana tampak dalam Program Legislasi Nasional. Tetapi pelaksanaan fungsi atau penegakan fungsi hukum cenderung menjadi lemah. Sekalipun produk hukum yang dihasilkan jumlahnya secara kuantitatif meningkat, tetapi substansi dan fungsi hukumnyapun tidak selalu meningkat atau sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hal ini terjadi ketidak sinkronan antara struktur hukum dengan fungsi hukum sebagaimana disebut di atas disebabkan oleh karena intervensi atau gangguan dari tindakan-tindakan politik. Hukum kadang tidak (dapat) ditegakkan karena adanya intervensi kekuasaan politik.

Pengaturan tata pemerintahan daerah di Indonesia, ada seiring berdirinya Negara Kesatuan R.I. Bahkan jika ditarik ke belakang, sejak pemerintahan Hindia Belandapun sudah ada. Dalam rentang waktu demikian,telah terjadi beberapa kali perubahan seiring dengan perubahan UUD dan/atau perubahan sistem politik. Tulisan ini bermaksud untuk mengidentifikasi korelasi causalitas antara subsistem politik dan subsistem hukum. Yaitu bagaimana konfigurasi politik mempengaruhi karakter produk hukum pemerintahan daerah di Indonesia, dikaitkan dengan pandangan teori hukum responsif yang dikemukakan oleh Phillip Nonet dan Philip Selznick. Oleh karena itu permasalahan dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut ;
Apakah karakter produk hukum pemerintahan daerah di Indonesia dipengaruhi oleh konfigurasi politik ?

B. Pembahasan
Tulisan ini didasarkan pada asumsi bahwa ”hukum adalah produk politik”. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu.Variabel ”konfigurasi politik” ditempatkan sebagai variabel bebas (independent),dan variabel ”karakter produk hukum” sebagai variabel terpengaruh (dependent). Variabel konfigurasi politik menunjuk pada bentuk konfigurasi sistem politik yang demokratis dan/atau konfigurasi sistem politik yang tidak demokratis (otoriter). Sedangkan variabel karakter produk hukum, mengacu pada konsepsi Nonet dan Selznick yang merujuk pada produk hukum yang berkarakter responsive atau otonom, dan karakter produk hukum yang represif, ortodoks, konservatif atau menindas.

Secara operasioal, pendikotomian hipotesis tersebut dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ”konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom. Sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang berkarakter ortodoks atau konservatif atau menindas”
Konsep konfigurasi politik demokratis dan/atau konsep otoriter ditentukan berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dominasi peranan eksekutif, dan kebebasan pers. Sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan kewenangan menafsirkan hukum. Untuk selanjutnya pengertian secara konseptual dirumuskan sebagai berikut:

a. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka ruang bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam menentukan kebijakan negara. Konfigurasi politik demikian menempatkan pemerintah lebih berperan sebagai organisasi yang harus melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis. Oleh karena itu badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara.Pers terlibat dalam menjalankan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman pembreidelan atau tindakan kriminalisasi lainnya ;

b Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi politik yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan,badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan senantiasa berada di bawah kontrol pemerintah dalam bayang-bayang pembreidelan.

c. Produk hukum responsif atau otonom adalah karakter produk hukum yang mencerminkan pemenuhan atas aspirasi masyarakat, baik individu maupun berbagai kelompok sosial, sehingga secara relatif lebih mampu mencerminkan rasa keadilan didalam masyarakat. Proses normatifikasinya mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat. Lembaga peradilan dan peraturan hukum berfungsi sebagai instrument pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya cukup diperinci sehingga tidak terlalu terbuka untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan visi penguasa / pemerintah secara sewenang-wenang.

d. Produk hukum konservatif atau ortodoks adalah karakter produk hukum yang mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan negara yang sangat dominan, sehingga dalam proses pembuatannya tidak akomodatif terhadap partisipasi dan aspiasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Prosedur pembuatan yang dilakukan biasanya hanya bersifat formalitas. Di dalam produk hukum yang demikian, biasanya hukum berjalan dengan sifat positivis instrumentalis atau sekedar menjadi alat justifikasi bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah. Rumusan materi hukumnya biasanya bersifat pokok-pokok saja sehingga dapat penguasa negara dapat menginterpretasikan menurut visi dan kehendaknya sendiri dengan berbagai peraturan pelaksanaan.

1. Tinjauan Teori Hukum Responsif Phillip Nonet dan Philip Selznick
Teori ini dilatarbelakangi dengan munculnya masalahmasalah sosial seperti protes sosial, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada dan digunakan pada saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum dituntut untuk bisa memecahkan dan memberikan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan Selznick berpikir dan berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan itu. Selama itu, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini adalah masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang lebih menekankan pada aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri.

Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Hukum tidak berada di ruang hampa, tetapi ada bersama-sama dengan ilmu yang lain, sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia. Memahami kenyataan itu, Nonet dan Selznick kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan semata. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang melingkupinya. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif) ; Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom) ; dan Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).

Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda, tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik masyarakat. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Untuk menjelaskan perkembangan evolutif tersebut, menurut pandangan penulis tahapan ini dapat disandarkan pada momentum – momentum sosial politik yang penting dalam perjalanan sejarah suatu Negara. Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan III (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya resiko kembalinya pola - pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih maju.Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan,bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan Nonet.

Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika - logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk sekedar melegitimasikan kekuasaannya.

2.Karakter Produk Hukum Pemerintah Daerah Indonesia Di Tentukan oleh Konfigurasi
Politik.

Pengaruh konfigurasi politik yang demokratis dan/atau otoriter telah terjadi sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia. Dinamika tarik menarik antara sistem politik yang demokratis dan otoriter secara bergantian muncul dan tenggelam dengan kecenderungan yang tampak dalam periodesasi sejarah. Seiring dengan dinamika tersebut, perkembangan karakter produk hukum menunjukkan keterpengaruhannya dengan terjadinya pola tolak tarik antara produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter konservatif.Sesuai dengan gagasan akan tahapan evolusi dalam teori hukum responsif sebagai model perkembangan (developmental model), maka untuk membuktikan hipotesa di atas, tulisan ini menganalisis data secara kualitatif dan normatif dengan membuat klasifikasi sejarah perkembangan politik dan konstitusi di Indonesia dalam periodesasi keberlakukan konstitusi di Indonesia, yang dikaitkan dengan momentum-momentum politik besar yang secara mendasar berpengaruh pada sistem politik negara. Secara rinci pembagian tahapan dinyatakan sebagai berikut :
a).Periode I adalah antara tahun 1945 – 1959 yang di dalamnya berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi atau Demokrasi Liberal ;
b).Periode II adalah antara tahun 1959 – 1966, yaitu berlakunya kembali UUD 1945 pada masa Orde Lama yang juga dikenal dengan masa Demokrasi Terpimpin ;
c).Periode III adalah antara tahun 1966 – 1998, yaitu berlakunya UUD 1945 pada masa Orde Baru ;
d).Periode IV adalah pada tahun 1998 – sekarang, yaitu dengan ditandai dengan berlakunya UUD 1945 setelah amandemen, atau selanjutnya dikenal dengan Orde Reformasi. Sekalipun bahwa dalam semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menjadikan demokrasi sebagai sistem politik yang dianut secara formil, tetapi tidak semua konstitusi tersebut dalam keberlakuan pada masanya tidak mampu melahirkan konfigurasi politik yang secara empirik demokratis.Artinya sekalipun sebuah konstitusi yang dengan jelas menganut paham demokrasi, tetapi dalam prakteknya dapat melahirkan konfigurasi politik yang otoriter. Bahkan dapat terjadi dalam satu konstitusi yang sama dapat lahir konfigurasi politik yang berbeda. Hal ini sebagaimana terjadi dalam masa pelaksanaan UUD 1945 pada tahun 1945 – 1949, tahun 1959 – 1966, dan tahun 1966 – 1998 telah melahirkan konfigurasi politik yang berbeda-beda.

Berikut ini kita lihat bagaimana konfigurasi politik berdasarkan periodesasi di atas berpengaruh terhadap karakter produk hukum atau perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah di Indonesia.

a. Periode 1945 - 1959
1).Konfigurasi Politik, Pada masa ini dikenal sebagai masa liberal. Ditandai dengan praktik sistem politik yang demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer, dinamika politik pemerintahan negara Indonesia mengalami keberlakuan tiga kostitusi yang berbeda. Ketiga konstitusi tersebut adalah UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), dan UUD Sementara 1950. Pada periode ini, konfigurasi politik yang muncul adalah konfigurasi politik yang demokratis. Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, pemerintah mengumumkan ( Bintan Regen saragih,2006, hal : 56-57 ) ;
2).Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat ;
3).Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat.Hal itu mendorong semangat para pejuang untuk berpolitik dengan munculnya beberapa partai politik, selain partai politik yang sebelum kemerdekaan juga sudah ada. Kehidupan politik yang sangat dinamis dan penuh semangat demokrasi waktu itu dikenal dengan demokrasi liberal (T.Moeljarto, 1968, hal : 7 ).
Sejak itu berdirilah sejumlah partai politik, antara lain Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Jelata, Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Indoensia Raya (PIR), Nahdatul Ulama (NU), dll. Konfigurasi politik demokrasi liberal ini ditandai dengan eksistensi partai-partai politik yang berperan sangat dominan dalam proses perumusan kebijakan negara melalui wadah konstitusionalnya (parlemen) ( Yahya Muhaimin, 1990, hal. 43 ). Partai-partai tersebut berperan penting dalam KNIP, DPR RIS, DPR Sementara sebagai lembaga parlemen pada waktu itu. Sekalipun mengalami kesurutan pada masa RIS, karena kekuasaan negara terbagi antara pusat dan negara bagian, namun pada masa berlakunya UUDS 1950 peranan partai poloitik sangat kuat. Begitu kuatnya peranan partai politik membuat pemerintahan dikenal dengan pemerintahan partai politik. Pemerintahan jatuh bangun karena dinamika politik partai yang sangat kuat, namun tidak ada satu partai yang dominan. Seiring dengan hal itu lembaga eksekutif berada pada posisi yang kalah kuat dibandingkan dengan partai-partai politik sehingga pemerintahan seringkali jatuh bangun dan keadaan politik berjalan secara tidak stabil.(T.Moeljarto,1968. hal : 7 ).
Masa ini ditandai dengan jatuh bangunnya pemerintahan, sehingga disebut masa jatuh bangunnya kabinet. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran milik Jepang yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 1945 koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya". Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Di masa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama di tahun 1947, pers kita terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana.( Lihat Hill, David T., The Press in New Order Indonesia, University of Western Australia Press / Asia Research Centre on Social, Political and Economic Change, Perth , 1994, hal. 26-29 ).

Kondisi pers sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, karena isi beritanya adalah propaganda untuk kepenti-ngan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah pemberitaan surat yang mengabarkan berita tentang proklamasi kemerdakaan, maka dengan sangat antusias masyarakat memburu berbagai surat kabar. Antusiasme masyarakat dipicu semangat kemerdekaan dan keinginan untuk mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan mereka untuk memperoleh informasi melalaui media massa.Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan kongres wartawan Indonesia di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang, ditunjuk sebagai ketuanya.Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting dari seluruh tanah air. Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht, seperti drukpers-reglement tahun 1856, persbreidel 15 ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Dalam UUD Pasal 19, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan.

Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran,persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar.Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya" telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis,dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekonomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan".

1) Karakter Produk Hukum
Pada waktu itu ketetuan hukum tentang pemerintahan daerah masih mengacu pada Pasal 18 UUD 1945, yang dinyatakan sebagai berikut :
”Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahanya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hakhak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa”.

Selanjutnya dalam penjelasan angka.I dari Pasal.18 menyatakan bahwa:
”Oleh karena Indonesia itu suatu ”eenheids staat”, maka Indonesia tak akan mempuyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsge meenschappen) atau bersifat administrasi belaka, semua menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena itu di daerahpun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan”

Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1945. UU ini adalah UU tentang Pemerin-tahan Daerah yang pertama dibuat dalam situasi pergolakan kemerdekaan transisional, sehingga tampak sebagai produk hukum eksperimental ( Mahfud M. D., 1999,hal : 21 ).

Desentralisasi sebagai sarana untuk mencapai demokrasi pada waktu itu tampaknya bersifat formalistik belaka. Secara empiris pemilihan umum untuk mengisi jabatan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang diinginkan oleh UU tidak dapat berjalan sebagaiman mestinya. Pengaruh dari pemerintahan Hindia Belanda masih kuat, sehingga dominasi pamong praja masih kuat. Sekalipun beberapa daerah telah mempunyai DPRD tetapi mereka tidak optimal melaksanakan tugas, secara perlahan hilang.Menurut The Liang Gie (The Liang Gie dalam Martin Jimung, 2005, hal : 156 )
pengaturan format desentralisasi dalam UU No. 1 tahun 1945 adalah sebagai berikut :
a).Daerah yang ditetapkan sebagai daerah otonom adalah Karesidenan,Kota, dan Kabupaten ;
b).Bentuk susunan pemerintah daerah terdiri dari Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) dan badan legislatif yang dipimpin oleh daerah baik sebagai organ daerah, dan juga merupakan pejabat pemerintah pusat di daerah ;

c).Wewenag BPRD sebagai lembaga legislatif meliputi otonomi (mengatur rumah tangga daerah) dan medebewind (menjalankan aturan-atauran atasan). Sedangkan badan eksekutif menjalankan pemerintahan sehari-hari (bertuur) ;
d).Daerah memiliki otonomi Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat;
e).Daerah memiliki sumber keuangan sendiri dengan kemungkinan mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat.

Menurut Solly Lubis ( Solly Lubis, 1983). dikatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan politik lokal yang dikeluarkan oleh UU No. 1 Tahun 1945, merupakan momentum penting dalam pengaturan masalah pemerintah daerah sehingga banyak ahli hukum dan politik mengatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1945 merupakan aturan desentralisasi pertama di Indonesia. Karena kebijakan dan kelembagaan penyelenggara pemerintah dan politik lokal dalam UU tersebut pertama kali diatur kedudukan (Komite Nasional Daerah) KND dan BPRD yang menjalankan tugas legislatif sebagai aparatur pemerintahan aderah dan badan eksekutif yang menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari. Tujuan desentralisasi pada masa pasca kemerdekaan adalah untuk mencapai demokrasi. Hampir dapat dikatakan bahwa pada masa berlakunya tiga UU, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, dan UU Nomor 1 Tahun 1957, diwarnai dengan upaya merealisa-sikan prinsip demokrasi dalam praktek otonomi daerah yang seluas-luasnya. Selaras dengan tujuan desentralisasi yang dicanangkan secara hukum pengisian anggota DPRD yang dikehendaki adalah atas dasar pemilihan. Dalam kedua UU tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah.

Selanjutnya Solly Lubis mensinyalir bahwa sisi politik dan perjuangan nasional, program penyusunan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah yang demokratis berdasarkan UU No. 1 Tahun 1945 memberikan KND kedudukan sebagai BPD adalah tindakan politik yangbertujuan menciptakan sistem otonomi yang bersifat lebih luas daripada otonomi waktu pemerintahan Hindia Belanda. Perkembangan selanjutnya disusunlah sutau peraturan baru sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, yaitu dengan menetapkan UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini bermaksud melengkapi beberapa materi yang dalam UU No. 1 Tahun 1945 belum diatur. Salah satu hal penting dalam UU ini adalah adanya gagasan untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya dan dielaborasinya asas medebewind bagi seluruh daerah di wilayah R.I. secara sama. Tujuan unifikasi tersebut tidak seutuhnya berhasil, karena bagitu luasnya wilayah dan latar belakang sosial budaya masing - masing daerah yang berbeda.

Menurut J. Wayong ( J. Wayong, Asas dan Tujuan Pemerintah Daerah, 1975). prinsip dasar yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1948 adalah :
a).Dihapuskannya dualisme pemerintahan di daerah. Dengan demikian diberlakukannya suatu proses penyeragaman dan integrasi Pemerintah Daerah ke dalam skema pemerintah pusat ;


b).Walaupun daerah terintegrasi tidak berarti format sentralistik yang dikembangkannya. Sebaliknya dikembangan prinsip desentralisasi. Pemerintah Daerah diberi hal otonomi atau hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selain itu, masih dimungkinkan adanya tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah Daerah (Hak medebewind).

Pada masa berlakunya UUD RIS 1949, pengaturan tentang pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 47 Konstitusi RIS, yang isinya adalah:
” Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada berbagai persekutuan rakyat di dalam lingkungan daerah mereka itu. Dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara secara kenegaraan dengan aturan-aturan otonom ”.

Berdasarkan pasal ini maka ketentuan desentralisasi yang mengharuskan adanya kemungkinan pada tiap-tiap negara bagian untuk membentuk daerah-daerah otonom yang dinamakan dengan daerah swapraja. Hubungan antara daerah swapraja dengan Negara (pusat) diatur berdasarkan kontrak antar keduanya. Namun karena bentuk negara federasi sebagaimana dikehendaki Belanda ini tidak berjalan lama, karena pada dasarnya rakyat Indonesia menghendaki untuk kembali ke bentuk negara kesatuan.Berdasarkan ketentuan pada Pasal 131 UUDS 1950, pada ayat (2) dan (3) menyatakan :
Ayat (2) : Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonom) dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.

Ayat (3) : Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.

Untuk melaksanakan ketentuan di atas, maka dikeluarkan UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. Undangundang tersebut hanya mengatur pelaksanaan asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan (medebewind) sesuai dengan maksud dari Pasal 131 UUDS 1950. Materi kelembagaan pemerintah lokal dalam UU ini membedakan dua macam daerah, yaitu Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa. Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan lokal hanya mengatur tentang pelaksanaan asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan. Sedangkan asas dekonsentrasi tidak diatur, bahkan tidak dielaborasi sama sekali. Kebijakan desentralisasi menganut system otonomi ekonomi riil. Sistem ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa setiap pemberian otonomi, khususnya penyerahan suatu urusan kepada daerah untuk dijadikan urusan rumah tangga daerahnya sendiri (Martin Jimung, 2005, hal : 170 )

b. Periode 1959 – 1966
1) Konfigurasi Politik
Konfigurasi politik pada periode ini ditandai dengan proses terbentuknya demokrasi terpimpin, yang kontek kemunculannya didasarkan pada kondisi ekonomi, sosial, politik pada saat itu yang tidak sehat, karena berjalannya demokrasi liberal. Satu momentum politik yang sangat penting adalah diselenggarakannya pemilu pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut terdapat 28 partai politik besar yang saling bertarung memperebutkan kursi lembaga perwakilan. Meskipun demikian pertaru-ngan dikuasai tiga partai, yaitu PNI, PKI, dan Masyumi. Banyaknya partai politik dan polarisasi tersebut mengakibatkan kabinet sering mengalami jatuh bangun dan banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dan membuat kondisi sosial politik porak poranda.

Konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada tahun 1959, ketika pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit ( Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ) yang kemudian dianggap sebagai jalan bagi tampilnya sosok demokrasi terpimpin. Sebagai konstitusi negara kembali diberlakukan UUD 1945. Perubahan ini membawa imbas yang luas di bidang ketatanegaraan. Produk hukum yang bernafaskan demokrasi liberal yang berlandas-kan UUDS 1950 harus disesuaikan dengan UUD 1945. Pada periode ini konfigurasi politik ditampilkan dalam bentuknya yang otoriter. Soekarno Menjadi sosok sentral dalam agenda politik nasional sehingga pemerintahan Soekarno pada masa itu dicirikan sebagai rejim yang otoriter dan totaliter. Partai politik tidak mempunyai ruang untuk partisipasi yang signifikan. Dominasi Soekarno yang mengatasi lembaga-lembaga konstitusional juga ditunjukkan dengan produk perundang-undangan yang dibuat olehnya, yaitu Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden.

Awal tahun 1960-an, jumlah penerbitan surat kabar mengalami peningkatan, khususnya dari tahun 1963 sampai dengan tahun 1966 (Pada tahun 1963 jumlah terbitan tambah sekitar 200 terbitan dari tahun sebelumnya.Untuk informasi lebih lengkap mengenai jumlah terbitan di Indonesia dari tahun 1945 sampai 1992, lihat David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 164 ) , kendatipun hal ini lebih mencerminkan keadaan politik yang semakin memanas. Pada waktu itu, industri pers mengalami dua pembredelan, yang pertama pada tahun 1957 kemudian diikuti pada tahun 1966. Tahun 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Surat Keputusan yang mewajibkan penerbit untuk bergabung dengan partai politik, organisasi massa atau golongan. Hal ini didasarkan pertimbangan keperluan pers untuk mencari dana. Akibat Surat Keputusan tersebut, pers menjadi lebih bersifat partisan, dan cenderung menjadi corong yang memberitakan kepentingan-kepentingan partai politik yang mendukungnya.
Sejak tahun 1945 dan selama tahun 1950-an serta tahun 1960-an, pers di Indonesia merupakan sebuah medium wacana politik. Dengan dana dari partai-partai politik dan golongan kepentingan lainnya, pers pada zaman tersebut bersifat sangat partisan dan berpihak. Akibatnya, landasan pers merupakan ideologi dengan ketergantungnya pada partai-partai politik. Masa tersebut juga mencerminkan kekuasaan pemerintah yang sangat tinggi terhadap pers maupun unsur-unsur kehidupan lain di negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan pembredelan pada tahun 1957 maupun tahun 1966, dan syarat SIT dan SIC untuk mendirikan surat kabar. Pers Perjuangan yang ada pada tahun 1945, yang menjadi Pers Partisan pada tahun 1950-an, tidak bebas lagi hingga tahun 1960-an.

2) Karakter Produk Hukum
Karakter produk hukum pemerintahan daerah yang otoriter muncul sebagai reaksi dari UU No. 1 Tahun 1957 yang dipandang terlalu liberal. Dengan menggunakan Penpres No. 6 Tahun 1959, struktur pemerintahan daerah di Indonesia digeser ke sisi yang sangat sentralistik, yaitu mekanisme pengendalian yang ketat dan sentralistik pemerintah Pusat terhadap pemerintah Daerah. Meskipun istilah otonomi yang seluas-luasnya secara formal masih dimuat, tetapi asas ini tidak dijabarkan dan dijelaskan secara operatif dalam pasal-pasal Penpres No. 6 tahun 1959 (Bagir Manan, 1990, hal : 219 – 220 ) .

Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). Kepala Daerah Tingkat I diangkat dan ditentu-kan sepenuhnya oleh Presiden, dan Kepala Daerah Tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pusat sekaligus bertugas mengawasi jalannya pemerintahan di daerah serta diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD. Secara praktis, DPRD yang biasanya dianggap sebagai lambang otonomi daerah, tidak diberikan peran apapun (Moh. Mahfud M.D. 1999, hal : 22.) . Penpres No. 6 Tahun 1959 ini kemudian diperbarui dengan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Alasan dikeluarkannya UU tersebut adalah karena peraturan yang mengatur tentang pemerintahan daerah kurang mantap dan masih terdapat berbagai macam peraturan sehingga dalam pelaksanaannya sering menimbulkan kesimpangsiuran. Di samping tu adanya perubahan ketatanegaraan yang membawa perkembangan baru di bidang hukum tatanegara R.I. Namun perubahan ini secara substansial tidak menjangkau pokok materi baru. Hampir semua isinya adalah isi dari Penpres No. 6 Tahun 1959. Dengan demikian karakter produk hukum tentang pemerintahan daerah pada periode 1959 – 1966 adalah konservatif atau ortodoks.

c. Periode 1966 - 1998
1) Konfigurasi Politik
Pada periode ini, dengan dalih pembangunan nasional dan paradigma pertumbuhan ekonomi (Lihat, T. Moeljarto, 1987) konfigurasi politik didesain untuk membangun negara yang kuat yang mampu menjamin dan membentuk negara kuat, kehidupan politik yang stabil sengaja diciptakan karena pembangunan ekonomi hanya akan berhasil jika didukung oleh stabilitas nasional yang mantap (Juwono Sudarsono, Integrasi, Demokrasi dan Pembaruan Politik, Dalam Kompas 2 Desember 1987.)

Pembangunan politik Orde Baru secara perlahan membentuk konfigurasi politik yang otoriter dan totaliter. Eksekutif menjadi sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan dan dibawah ancaman pembreidelan. Lembaga legislatif dicirikan sebagai lembaga yang lemah karena di dalamnya telah ditanamkan tangan-tangan ekskutif melalui Golongan Karya, Fraksi ABRI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Partai politik dikebiri dengan menggunakan berbagai cara. Dikembangkan paradigma bahwa jumlah partai politik yang banyak berarti instabilitas bagi politik nasional. Oleh karena itu harus ada penyederhanaan system kepartaian, dengan memaksakan jumlah partai politik dua buah, yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, dan satu Golongan Karya. Lebih dari itu rekruitmen elit partai dilakukan dibawah kontrol sedemikian rupa oleh presiden, agar setiap potensi oposisi dan tokoh yang kritis tidak bisa tampil. Pelaksanaan pemilu tidak lebih digunakan sekedar sebagai alat untuk memperoleh legitimasi formal. Sekalipun berhasil melaksanakan pemilu secara periodik, tetapi pemilu bukan dimaknai sebagai media untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis, melainkan suatu manuver politik untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto beserta kroni-kroninya ( Martin Jimung, 2005, hal : 182.).

Praktik otoritarianisme Orde Baru diidentifikasi secara teoritis sebagai Patrimonialisme (D.K. Emmerson, dalam Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Prisma No. 10 tahun 1980.) Bureaucratic Polity (Harry J. Benda, Negara, masyarakat, dan Ekonomi, dalam Prisma No. 8 Tahun 1984.) yang pada dasarnya menjelaskan bahwa realitas politik yang dibangun oleh Orde Baru adalah tidak demokratis.

Pada masa rejim Orde Baru berkuasa, pemerintah membentuk berbagai lembaga represif seperti Kopkamtib, Opsus, Bakin dan lain lain yang merupakan bagian dari strategi politik kekuasaan untuk mengamankan semua kebijakan dan kekuasaan Soeharto dan kroni - kroninya. Langkah ini dilakukan untuk pemantauan terhadap semua dimensi kehidupan sosial politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan dengan dalih demi stabilitas nasional dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan siasat demikian pemerintah akan dengan mudah mengkontrol dan mengambil tindakan terhadap potensi perlawanan yang dianggap kritis dan membahayakan atau tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.

Pada masa pemerintahan rejim Orde baru melakukan berbagai bentuk tindakan yang mengarah pada depolitisasi masyarakat. Masyarakat dikon-disikan sedemikian rupa agar apatis dan terpisah dari politik. ”Politik itu kotor”, sehingga harus dijauhi. Beberapa hal dilakukan untuk mendepolitisasi masyarakat, diantaranya adalah:
a).Kebijakan massa mengambang (floating mass) Kebijakan ini adalah usaha rejim Orde Baru untuk menekan partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan politik di tingkat lokal dengan melarang pembentukan kepengurusan partai politik sampai pada tingkat bawah. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan kondisi agar masyarakat tidak menjadi a-politis dan tidak usah terlalu perduli dengan politik ;
b).Pemilu untuk memperoleh legitimasi formal Rejim Orde Baru sangat menyadari bahwa untuk membangun citra demokratis, harus dilaksanakan pemilu secara periodik dan diikuti oleh sebanyak mungin warga negara yang berhak memilih. Untuk itu dalam setiap pelaksanaan pemilu pemerintah perlu memobilisasi rakyat, agar tingkat partisipasi rakyat tinggi. Pemilu lebih dimaknai sebagai manuver politik rejim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan Negara ;
c).Pengebirian/pengkerdilan peran partai politik Pengkerdilan peran partai politik dibangun dengan hegemoni anti partai politik, karena dengan independensi partai politik berarti instabilitas dan disharmoni politik. Oleh karena itu perlu diadakan penyederhanaan sistem kepartaian dengan menggunakan palu godam, yaitu hanya Partai Persatuan Pembangunan untuk mengidentifikasi partai idiologi Islam, dan Partai Demokrasi Indonesia untuk mengidentifikasi idiologi nasionalis, dan Golongan Karya (tidak mau disebut partai politik). Ketiganya harus tunduk dengan pola penyeragaman, yaitu asas tunggal. Demikian juga rekruitmen fungsionaris partai harus diintervensi oleh pemerintah melalui jalur pembinaan politik oleh pemerintah ;
d).Kontrol dan sentralisasi kehidupan politik Logika yang dibangun untuk mengefektifkan kontrol dan pengawasan terhadap kehidupan politik yang sangat ketat demi pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu dibentuk lembaga Kopkamtib, Opsusu, Bakin, dan lain-lain ;
e).Dominasi militer dalam birokrasi (Dwi Fungsi ABRI) Sejarah pajang Orde Baru ditandai dengan pola distribusi posisi dan kebijakan strategis yang didominasim oleh anggota ABRI khususnya Angkatan Darat. Birokrasi menjadi instrumen pelaksana kekuasaan sekaligus mesin politik yang sangat efektif melindungi dan melanggengkan kekuasaan Soeharto. Di bidang pers, setelah peristiwa G 30 S/PKI, 43 dari 163 surat kabar yang ada ditutup oleh pemerintah (Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxford University Press, Melbourne, 2000, hal. 53).Pada tahun 1967, jumlah terbitan menurun sebanyak 132 terbitan dari tahun sebelumnya ( David T. Hill, 1994, hal. 164 ).

Kekuasaan pemerintah atas pers muncul lagi melalui pembentukan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Menurut Pasal 20, selama ‘masa peralihan’, penerbit surat kabar wajib memperoleh baik Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan maupun Surat Izin Cetak (SIC) dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanpa kedua surat izin tersebut, sebuah terbitan dianggap tidak ‘sah’ dan kalau satupun surat izinnya dicabut, terbitan itu dilarang terbit. ‘Masa Peralihan’ itu berlaku lebih dari 15 tahun, sampai tahun 1982 (Keperluan dapat SIC dicabut pada tahun 1977, tetapi SIT masih harus didapati sampai tahun 1982. Pada tahun 1982, SIT diganti oleh Departemen Penerangan dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organsisasi terhadap pers sehingga tidak lagi mendapat dana dari partai politik (Namun, harian Suara Karya yang didukung Golkar, tetap ada.)

Oleh karena itu, pemimpin terbitan harus mencari dana dari periklanan.Untuk dapat menarik iklan, sebuah terbitan harus mempunyai landasan jumlah pembaca yang banyak. Pada tahun 1974 dan tahun 1978, industri pers mengalami pembredeilan lagi. Setelah kerusuhan ‘Malari’ pada bulan Januari 1974, 12 terbitan dilarang dan beberapa wartawan ditangkap dan puluhan lain didaftar hitamkan (Krishna Sen dan David T. Hill, 2000, hal. 53) .

Pada 1978, tujuh harian yang terbit di Jakarta mengalami penutupan karena liputannya yang mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru (Krishna Sen dan David T. Hill, 2000, hal. 53).

Dengan pembredelan tersebut pemerintah Orde Baru mulai bersifat ‘tangan besi’ terhadap pers. Pemimpin-pemimpin pers mengakui bahwa untuk menjamin kelangsungan terbitannya, mereka harus mengalami proses penyesuaian diri dan ‘depolitisasi’, dalam arti menghilangkan unsur-unsur politik dalam berita yang dimuat, kecuali yang mendukung pemerintah Orde Baru dan kebijakannya. Dapat dilihat bahwa ‘depolitisasi’ tersebut merupakan akibat dari lepasnya pengaruh partai politik, maupun kekuasaan pemerintah. Iklan merupakan salah satu upaya kebebasan pers Indonesia secara ekonomis. Akhirnya tahun 1970-an pers di Indonesia mulai berubah bentuknya dari alat ideologis menjadi industri besar. Pada tahun 1982, SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).SIUPP hampir sama dengan SIT, seperti perubahan hanya dalam sebutan saja.Namun bedanya SIUPP, lebih tegas lagi. Jika SIUPP sebuah terbitan dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh pemerintah. Namun, sejak tahun 1970-an pers telah mulai menjadi industry besar dan memperkerjakan banyak karyawan dalam setiap tahap produksinya. Di samping kepentingan-kepentingan itu, ada kekuasaan pemerintah dengan ancaman pencabutan SIT dan SIC kemudian SIUPP. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup. Sebagai respons terhadap kelemahan tersebut, perusahan pers mulai melakukan diversifikasi baik di bidang pers sendiri maupun perusahaan di bidang bidang lain. Jalan diversifikasi yang ditempuh oleh surat kabar besar di Jakarta adalah dengan mengambil alih surat kabar regional dengan memberi bantuan dana, serta pimpinan manajemen maupun redaksi.

Akibat diversifikasi itu muncul grup-grup besar, atau konglomerat media, seperti Kompas - Gramedia Grup, Grafiti Pers Grup dan Sinar Kasih Grup. Alasan-alasan upaya diversifikasi ke bidang media tersebut bukan hanya untuk meraih profit, tetapi juga sebagai perlindungan kepentingan. Kalau SIUPP surat kabar utama, misalnya Kompas, dicabut oleh pemerintah, ada SIUPP surat kabar regional yang dimiliki Kompas - Gramedia Grup, misalnya Surya, yang kuat secara keuangan (Lihat Ignatius Haryanto, ‘Demografi Pers Indonesia Hari Ini’, Kompas Online, 23 Agustus 1997, http://basisdata.esosoft.net/1997/08/23/0032.html) maupun keredaksian, dapat menerima karyawan surat kabar yang ditutup, dan mengambil pasarnya. Pendek kata, kalau surat kabar utamanya ditutup, masih ada surat kabar lain.

Dalam masa itu, timbullah beberapa grup besar, yang paling besar Kompas - Gramedia
Grup dan Grafiti Pers Grup, yang melahirkan Jawa Pos Grup. Pada tahun 1990-an, di antara 13 dan 16 grup mempunyai duapertiga industri pers. Pada tahun 1989, Kompas - Gramedia Grup mendirikan Bagian Pers Daerah, atau ‘Persda’ (Krishna Sen dan David T. Hill, 2000, hal. 58) . Dari pendirian bidang itu, dapat dilihat bahwa ‘pers daerah’ dianggap sebagai potensi besar.

b.Karakter Produk Hukum
Karakter produk hukum pemerintahan daerah pada masa Orde Baru ditandai dengan realitas UU No. 18 tahun 1965 yang ditetapkan pada tanggal 1 September 1965 tidak dapat berjalan dengan efektif karena adanya peristiwa G 30 S PKI yang segera diikuti dengan pergeseran kekuasaan politik ke Orde Baru. Pada awalnya pengaturan tentang pemerintahan daerah didasarkan pada Tap MPRS No. XXI/MPRS/1969 yang isinya menyatakan kepada Pemerintah Daerah dan DPRGR agar dalam waktu dekat memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah sesuai dengan jiwa dan isi UUD 1945 tanpa mengurangi tanggungjawab Pemerintah Pusat di Bidang perencanaan, koordinasi dan pengawasan terhadap Daerah-Daerah tersebut (Pasal 1). Pelaksanaan amanat MPRS oleh pemerintah dan DPRGR ditetapkan dengan UU No. 6 tahun 1969 yang isinya menyatakan bahwa tidak berlakunya berbagai UU dan Perpu. Alasannya karena kondisi politik pada saat itu tidak memungkinkan menghasilkan UU penggantinya. Sehingga dalam prakteknya secara de facto UU No. 18 tahun 1965 tetap berlaku.

Berikutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah sebagai pengganti UU No. 18 tahun 1965. Seiring dengan konfigurasi politik Orde baru yang semakin otoriter, produk hukum pemerintahan daerah inipun cenderung berkarakter semakin konservatif/ortodoks. Dalam UU ini istilah otonomi yang nyata dan seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan dan diganti degan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab (Bagir Manan, op cit, hal :253 – 256.). Dominasi Pemerintah Pusat terhadap Daerah sangat menonjol. Hal ini dapat dilihat pada cara pengangkatan Kepala Daerah yang memberikan kekuasaan kepada Pemerintah Pusat untuk menentukannya tanpa terikat pada hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD ( Ateng Syafrudin, 1985, hal : 36 - 37.). Selain berperan sebagai organ daerah otonom, Kepala Daerah berkedudukan juga sebagai alat Pusat yang diletakkan di Daerah dengan sebut Kepala Wilayah. Dalam kedudukannya sebagai alat Pusat tersebut, Kepala Wilayah merupakan penguasa tunggal di daerah. Kontrol Pusat atas Daerah dilakukan melalui mekanisme pengawasan preventif, pengawasan represif, dan pengawasan umum.

4. Periode 1998 - Sekarang
a. Konfigurasi Politik
Momentum peruhan politik tahun 1998, yang dikenal dengan “Reformasi”, ditandai dengan turunnya Soeharto dari tampuk kursi kepresidenan Indonesia yang telah dikuasainya selama lebih dari tigapuluh tahun. Jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru diikuti dengan perubahan konstitusi negara, yaitu amandemen UUD 1945 hingga empat tahapan. Hasil dari perubahan konstitusi tersebut adalah perubahan secara signifikan sistem ketatanegaraan R.I. Struktur lembaga negara yang tidak diperlukan dibubarkan, kemudian atas tuntutan perkembangan politik dan masyarakat dibentuk lembaga negara baru. DPA dibubarkan, dibentuk MK dan DPD sebagai lembaga tinggi negara.

Lembaga perwakilan rakyat direformasi sedemikian rupa dengan menghilangkan unsur-unsur keterwakilan yang pada masa lalu digunakan sebagai alat kekuasaan eksekutif. Unsur ABRI, Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang selama Orde Baru digunakan untuk membangun legitimasi formal dihilangkan dari DPR. Semua anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui partai politik. Untuk memenuhi dan mewadahi aspirasi dan kepentingan daerah, maka dibentuklah DPD, yang susunannya dipilih langsung oleh rakyat dari daerah yang diwakilinya (Propinsi). Sedangkan MPR berjalan seolah joint session antara DPR dan DPD, dengan tugas dan wewenang yang lebih terbatas (bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara).

Reformasi juga menjangkau hingga pada pengaturan tentang sistem kepartaian di Indonesia. Masyarakat diberikan kebebasan yang sangat luas untuk membentuk partai politik, dan bagaikan jamur di musim hujan sejak itu lebih dari seratus partai politik yang terdaftar di Departemen Hukum dan HAM. Sekalipun demikian untuk mengikuti pemilu partai politik harus memenuhi persyaratan tertentu yang tidak mudah. Tetapi harus diingat bahwa partisipan pemilu pasca reformasi selalu diikuti oleh lebih dari 20 partai politik. Bahkan pada pemilu legislatif 2009 yang baru lalu diikuti oleh 40 partai politik.Pemilu menjadi sarana yang sangat penting dalam system politik demokrasi untuk menyalurkan aspirasi dan agregasi sekaligus rekruitmen politik rakyat. Pemilu sekaligus menjadi ajang untuk melakukan seleksi kebijakan nasional bagi penyusunan program negara R.I. Oleh karena itu pemilu harus dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga yang independen namun dengan kedudukan yang kuat. Materi penting yang lain dalam perubahan UUD 1945 adalah bahwa Presiden R.I. dipilih langsung oleh rakyat, dengan masa jabatan yang dibatasi untuk dua kali lima tahun. Selebihnya tidak dapat dipilih lagi.

Dengan pemilihan presiden secara langsung, maka aspirasi rakyat akan menjadi lebih terjamin. Rakyat sendirilah yang memilih presidennya, sehingga setiap suara rakyat menjadi semakin berarti. Pers sebagai pilar keempat demokrasi berperan semakin maksimal ketika ruang ekspresi dan informasi dibuka lebar. Media massa tidak takut lagi dengan ancaman breidel oleh pemerintah. Bahkan independensi media dilindungi dengan UU Pers dan Negara telah memasukkan pers sebagai rejim HAM, sehingga urgensi pemenuhannya menjadi semakin pokok. Pada periode ini kekuatan pers untuk menjadi pilar keempat demokrasi benar-benar mendapatkan ruang yang sangat besar.

Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan rezim Orde Barunya, juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di Indonesia. Seperti ungkapan salah satu wartawan di Malang, reformasi dan kebebasan pers digambarkan seperti “sebuah pesta”. Era reformasi ditandai dengan terbukanya kran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP (Suroso, 2001, hal. 3) Sebelum tahun 1998 proses perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan September 1999, pemerintahan BJ Habibie mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan UU RI No. 11 1966, UU RI No. 4 1967 dan UU No. 21 1982, yang diakui “sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman” (UU tersebut terlampir dalam Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hal. 205 – 214).

Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik Indonesia tersebut, merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia. UU RI No. 40 1999, antara lain, menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. UU RI No. 40 1999 tersebut juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers.Longgarnya proses mendapatkan SIUPP, hampir 1000 SIUPP yang baru telah disetejui oleh Menteri Informasi dalam jangka waktu dari bulan Juni 1998 sampai Desember 2000 (Lihat John Olle, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, No. 61 Januari – Maret 2000, www.insideindonesia.org/edit60/jolle1htm dan Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999.) Lagi pula, angka tersebut tidak termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi. Sebagian besar dari meledaknya terbitan itu merupakan tabloid mingguan yang berorientasi politik yang dimiliki dan didukung oleh konglomerat media, misalnya Bangkit (Kompas –Gramedia Grup) dan Oposisi (Jawa Pos Grup). Dengan menjamurnya terbitan tersebut, tidak perlu lagi mengartikan ungkapan yang tersembunyi atau ‘read between the lines’ seperti ketika Orde Baru. Namun, sekarang yang diperlukan adalah sikap skeptis dalam memperoleh informasi berita sehingga media dapat menghasilkan berita yang dipercaya, bukan hanya sekedar bersifat sensasional saja ( John Olle, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, Januari – Maret 2000).

Tahun ketiga yang sejak jatuhnya Suharto dan pergantian rezimnya, muncul kencendurangan baru dalam pers di Indonesia, yaitu ‘lokalisasi’. Proses itu melibatkan banyak terbitan yang muncul di daerah-daerah untuk melayani informasi warga di daerah itu. Fenomena lokalisasi pers dan permunculan pers daerah akan dibahas lebih terinci dalam bab berikutnya. Konfigurasi politik pasca reformasi menunjukkan pola keterbukaan yang membuka peluang bagi berperannya seluruh potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi politik yang demikian maka pemerintah lebih berperan sebagai pelayan yang harus melaksanakan kehendak - kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis oleh badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional.

b. Karakter Produk Hukum
Salah satu buah manis reformasi adalah pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah dalam pengambilan keputusan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Konsep pengaturan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dengan menyerahkan sebagian besar urusan penyelenggaraan pemerintahan kepada daerah,kecuali hanya untuk urusan yang secara materiil memang tidak mungkin diserahkan kepada daerah, yaitu kewenangan moneter, hubungan luar negeri, pertahan, keamanan, pengadilan, dan agama. UU No. 22 tahun 1999 ternyata dirasakan terlalu terbuka. Oleh karena itu untuk menata agar pelaksanaan otonomi daerah tidak menyimpang dan membahayakan Negara kesatuan R.I. maka dibuat UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada langsung. Daerah (kepala daerah dan DPRD) memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan,peningkatan peran serta masyarakat, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ada beberapa alasan perlunya pemerintah pusat mendesentralisasikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, yaitu :

1).segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah ;
2).segi manajemen pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas publik terutama dalam penyediaan pelayanan public ;
3).segi kultural, desentralisasi untuk memperhatikan kekhususan, keistimewaan suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk,perekonomian, kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya ;
4).segi kepentingan pemerintah pusat, desentralisasi dapat mengatasi kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi program-programnya ;
5).segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan persaingan positif antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat ( Samodra Wibawa. 2005. Hal : 49 – 50).

Kebijakan pembangunan nasional, sebagaimana diungkap oleh UU Nomor 32 tahun 2004 telah memberikan petunjuk yang jelas bahwa sebagian besar urusan dan tanggung jawab pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada pemerintah daerah. Penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip-prinsip otonomi daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengantur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut didasarkan pada asas desentralisasi, dengan menyerahkan semua kewenangan pemerintahan kepada daerah selain kewenangan pusat sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu : bidang politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Pada hakekatnya kebijakan otonomi daerah didasarkan pada keyakinan bahwa pemerintah daerah masing-masing memiliki kemampuan dan kapasitas untuk merencanakan dan mengelola pembangunan secara mandiri. Daerah dianggap lebih tahu dan mengenal daerahnya, dengan segala potensi dan keunggulannya. Dalam pelaksanaannya UU No. 32 Tahun 2004 yang dikaitkan dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan ruang yang cukup luas bagi pemerintah daerah dalam penanganan urusan pemerintah ditingkat lokal, penyelesaian permasalahan daerah dan dapat lebih kreatif menggali dan mengembangkan potensi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu karakter produk hukum yang dihasilkan dalam periode ini dapat dikatakan responsif.

E. Kesimpulan
Uraian di atas menunjukkan bahwa situasi politik tertentu akan dapat melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu pula. Hal ini secara teoritis, dikotomis sistem politik demokrasi akan menghasilkan produk hukum yang responsif. Sedangkan konfigurasi sistem politik yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang konservatif/ortodoks. Kesimpulan umum tersebut dapat secara langsung dikaitkan dalam telaah pengaturan hukum tentang pemerintahan daerah di Indonesia. Dalam periodesasi yang ditentukan menurut momentum kesejarahan perkembangan politik nasional Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a.Periode 1945 – 1959, karena keadaan politik di Indonesia pasca kemerdekaan adalah sangat demokratis (demokrasi liberal), dan telah melahirkan produk hukum yang berkarakter responsive ;
b.Periode 1959 – 1965, keadaan politik di Indonesia adalah otoriter, dibawah panji politik totalitarianisme Soekarno dan demokrasi terpimpin, maka telah melahirkan produk hukum yang berkarakter ortodoks ;
c.Periode 1966 – 1998, keadaan politik adalah otoriter dengan ditandai otoritarianisme rejim Orde baru yang terpusat di tangan Soeharto. Pada periode ini telah melahirkan produk hukum yang ortodoks dan konservatif ;
d.Periode 1998 – sekarang, konfigurasi politik demokratis, dengan ditandai munculnya rejim reformasi yang secara fundamental telah merobah system ketatanegaraan menjadi demokratis. Produk hukum yang dihasilkan adalah berkarakter responsif.


Daftar Pustaka

Mahfud M.D. 1993. Perkembangan Politik Hukum di Indonesia, disertasi doctor di UGM, Yogyakarta.
___________. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta, Liberty.

Philipe Nonet dan Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition Toward Responsive law, New York, Harper and Row.

Satjipto Rahardjo. 1985. Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Sinar Baru.

Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta.

Bagir Manan. 1994. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

T. Moeljarto. 1968.Beberapa Pemikiran tentang Sistem Kepartaian di Indonesia, Yogyakarta : Seksi Penerbitan Fakultas Sospol UGM.

Arbi Sanit. 1986. Politik sebagai Sumberdaya Hukum, Telaan Mengenai Dampak Tingkah Laku Politik Elit dan Massa terhadap Kekuatan Hukum di Indonesia, dalam Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amin (ed.), Pembangunan Hukum dalam Perspektif Nasional (LBH Yogyakarta dan Rajawali Jakarta.

Martin Jimung, Politik Lokal dan PemerintahanDaerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Yogyakarta, Yayasan Pustaka Nusatama, 2005.

Bintan Regen Saragih. 2006. Politik Hukum, Bandung: CV Utomo. D. K.Emmerson, dalam Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Prisma No. 10 tahun 1980.

Hanif Nurcholis. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.Jakarta : PT. Grasindo.Harry.

S.H. Sarundajang. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta : Kata Hasta.

Syaukani, dkk. 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Jakarta : Pustaka Pelajar.

J. Wayong. 1975. Asas dan Tujuan Pemerintah Daerah, Djambatan, Jakarta.John Olle, Sex, Money, Power, Inside Indonesia, Januari – Maret 2000. www.insideindonesia.org/edit60/jolle1htm dan Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999.

Juwono Sudarsono, Integrasi, Demokrasi dan Pembaruan Politik, Dalam Kompas 2 Desember 1987.

Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta. 2000. Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Krishna Sen dan David T. Hill, 2000. Media, Culture and Politics in Indonesia,Oxford University Press, Melbourne.
Mahendra Putra Kurnia, dkk. 2007. Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif. Yogyakarta : Kreasi Total Media.

Muhammad Fauzan. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah Kajian tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Yogyakarta : UII Press.

Robert Dahl. 1985. Dilema Demokrasi Pluralistis, antara Otonomi dan Kontrol,Jakarta, Rajawali Press.

Sabian Usman. 2009. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Sadu Wasistiono, dkk. 2006. Memahami Asas Tugas Pembantuan Pandangan Legalistik, Teoritik dan Implementatif. Bandung : Fokusmedia.

Samodra Wibawa. 2005. Good Governance dan Otonomi Daerah dalam Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Yahya Muhaimin. 1990. Bisnis dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Ekonomi Indonesia 1950 – 1980, terj. Hasan Basari dan Muladi Sugiono, Jakarta :LP3ES.

J. Benda. 1984.Negara, masyarakat, dan Ekonomi, dalam Prisma No. 8 Tahun.
Ignatius Haryanto, ‘Demografi Pers Indonesia Hari Ini’, Kompas Online, 23 Agustus 1997, http://basisdata.esosoft.net/1997/08/23/0032.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger