Kamis, 28 Oktober 2010

Belajar Ilmunya Intelijen

Apakah Definisi Intelijen? Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan langsung dari Intelligence (N) dalam bahasa Inggris yang berarti kemampuan berpikir/analisa manusia. Mudahnya kita lihat saja test IQ (Intelligence Quotient), itulah makna dasar dari Intelijen.

Intelijen juga merujuk pada organisasi yang melakukan seni pencarian, pengumpulan dan pengolahan informasi tersebut di atas. Dengan definisi ini intelijen juga mencakup orang-orang yang berada di dalam organisasi intelijen termasuk sistem operasi dan analisanya.

USA, Russia (sejak era Uni Soviet) adalah dua negara yang mengembangkan intelligence mengarah pada sebuah field science baru. Keberadaan sejumlah Akademi di Russia, bahkan Sekolah Tinggi sampai Graduate School di USA (bersepesialisasi di bidang intelijen) merupakan langkah-langkah gradual menuju penciptaan field science of intelligence.
Sementara di sebagian besar negara "besar" seperti Inggris, Perancis, dan China, Intelligence masih dianggap sebagai seni yang dirahasiakan dan hanya diajarkan pada calon-calon agen intelijen selama beberapa tahun.

Inilah Alasan Mbah Maridjan Tidak Turun

JAKARTA, KOMPAS.com — Mbah Maridjan (83), sebagai juru kunci Gunung Merapi, lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni (memerhatikan).

Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.

Dalam kosmologi keraton Yogyakarta, dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah yang dihuni manusia dengan keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Keempat bagian lain dihuni oleh makhluk halus. Raja bagian utara bermukim di Gunung Merapi, bagian timur di Gunung Semeru, bagian selatan di Laut Selatan, dan bagian barat di Sendang Ndlephi di Gunung Menoreh.

Namun, jauh dari ungkapan-ungkapan itu, ada suatu keyakinan yang hidup di dalam masyarakat di sekitar Gunung Merapi bahwa gunung dengan segala macam isinya dan makhluk hidup yang mendiami wilayah ini menjadi suatu komunitas. Karena itu, ada hubungan saling menjaga dan saling melindungi.

Ketika salah satu anggota mengalami atau melakukan sesuatu, dia akan memberi "isyarat" kepada yang lain dan dia akan memberitahukan kepada yang lain. Demikian pula ketika Merapi "batuk-batuk", dia juga memberi isyarat kepada yang lain, termasuk kepada Mbah Maridjan.

Barangkali karena saat itu belum menerima isyarat, Mbah Maridjan berpendapat bahwa Merapi tidak akan melakukan sesuatu. Selanjutnya, Mbah Maridjan tidak mau diajak mengungsi (meninggalkan Gunung Merapi).

Korban Tewas Dipastikan 26 Orang

SLEMAN, KOMPAS.com — Jumlah korban tewas akibat erupsi Gunung Merapi dipastikan bertambah menjadi 26 jenazah. Selain korban tewas, korban yang dirawat di rumah sakit berjumlah 18 orang.

Sebanyak 20 korban di antaranya sudah teridentifikasi dan enam lainnya masih dalam proses. Dari 20 korban tersebut, salah satu jenazah dipastikan juru kunci Merapi, Mbah Maridjan. Satu korban meninggal lainnya adalah seorang bayi.

Mereka akan dimakamkan secara massal di tanah kas Desa Umbulharjo dan keluarganya mendapat santunan uang. Demikian pernyataan resmi yang disampaikan Bupati Sleman Sri Purnomo di posko utama Merapi.

Korban Tewas di Mentawai 283 Orang

REPUBLIKA.CO.ID,PADANG--Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kepulauan Mentawai, hingga Kamis (28/10) pukul 00.35 WIB mencatat korban meninggal akibat gempa dan tsunami di Mentawai berjumlah 283 orang. "Ini data resmi kami di BPBD Mentawai. Soal ada yang menyampaikan lebih, kami tidak tahu dari mana sumbernya," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kepulauan Mentawai, Joskamtir, yang dihubungi dari Padang, Kamis.

Korban luka parah dan ringan katanya berjumlah 200 orang, katanya. Mereka saat ini mendapat perawatan medis di Puskesmas Kecamatan Sikakap. Sementara itu, jumlah korban yang hilang mencapai 250 orang.

Dia mengatakan, pihaknya terus melakukan pencarian dibantu Palang Merah Indonesia (PMI), kepolisin, TNI, dan masyarakat setempat. "Masyarakat di Pagai Selatan masih di pengungsian dan warga Sikakap di pemukiman namun dalam keadaan siaga," katanya.

Butuh Bantuan
Joskamtir menyampaikan, hingga Kamis dinihari, masyarakat belum mendapat batuan. "Kami butuh masker, cangkul, obat-obatan. Ini dibutuhkan segera karena mayat-mayat sudah mulai mengeluarkan bau, sementara alkohol 70 persen sudah tidak ada lagi," katanya.

Namun dia juga melaporkan, KRI telah merapat dan kemungkinan membawa bantuan yang akan dibongkar Kamis pagi. Ia beharap kapal tersebut membawa semua bantuan yang dibutuhkan.

Gempa berkekuatan 7,2 scala richter SR mengguncang Sumatera Barat Senin, (25/10) pukul 21.42 WIB. Pusat gempa berada di 3.61 LS - 99.93 BT berkedalaman 10 kilometer. Gempa berlokasi di 78 kilometer Barat Daya Pagai Selatan, Mentawai, Sumatera barat. Gempa cukup kuat dirasakan di sejumlah daerah di Kota Padang.
Red: Krisman Purwoko
Sumber: ant

Peribahasa Latin

Aegroto dum anima est, spes est. artinya : Selama seseorang yang sakit masih memiliki semangat, maka masih ada harapan.

Rabu, 27 Oktober 2010

Bercinta Sehat Gaya "Kamasutra" Bugis

Sriwijaya Post - Rabu, 29 Juli 2009 12:52 WIB

TEKNIK bertahan dalam persetubuhan menjadi hal yang sangat penting dan mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci.

Kitab peretubuhan Bugis Assikalaibineng ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay.

Manuskrip Assikalaibineng amat mementingkan kualitas hubungan badan ketimbang frekuensi atau multiorgasme. Assikalaibineng adalah ilmu menahan nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.

Namun pada intinya, Assikalaibineng bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk berhubungan badan, lebih dari itu Assikalaibnineng adalah tahapan awal untuk membuat anak yang cerdas, beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari ajaran ini adalah bagaimana membuat generasi pelanjut yang sesuai tuntutan agama. (h.151)

Banyak teori seksualitas mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi sebagai puncak kenikmatan seksual bagi laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Perbandingannya delapan kali untuk suami, dan satu kali bagi istri.

Bahkan, dapat saja seorang istri tidak pernah sekalipun merasakan orgasme seteles sekian kali, bahkan sekian lama hidup berumah tangga. Assikalaibaineng, mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan lelaku seks yang mengedepankan kualitas.

Emonde Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan penelitian, dari 1400 lelaki yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya tujuh yang lemah karena sebab-sebab jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau psikologis,"

Dia melanjutkan, "kejiwaanlah yang menyebabkan faktor terbesar sekaligus penggerak seseorang melakukan hubungan seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi hanya merupakan alat pemuasan bagi melaksanakan kehidupan kejiwaan seseorang.
Sedangkan teknik mengelola nafas, cara penetrasi, dan menutup hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri tertidur dalam satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas hubungan.

Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan badan juga secara rinci diatur dalam kitab ini. "Tidak sepanjang satu malam menjadi masa yang tepat untuk bersetubuh." (hal.166)

Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti warna kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan setelah isya. Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan tengah malam (sebelum shalat tahajjud), anak yang warna kulitnya kemerah-memerahan dilakukan antara Isya dan tengah malam.

Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh, antara pukul 05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di Indonesia. Ini sekaligus supaya mempermudah mandi junub.

Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan mengingatkan kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan melakukan persetubuhan. Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara psikologis maupun biologis, terutama pihak istri.

Sesuaikan waktu tidur

Teks Assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri dengan ajakan suami bersetubuh. Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, "bila suami mengajak istri berhubungan saat menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan penuh kasih sayang (ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas, lantas suami membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa diperlakukan laiknya budak seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma'.

Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, Assikalaibineng juga memberikan cara efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri biasanya langsung tertidur. Untuk menunjukkan kasih sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa mengambil air, lalu mercikkan satu dua tetes ke muka istri.

Setelah istri terbangun, lelaki memberikan pijitan awal di antara kening, mata, menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu bercakap-cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat.
Kompas.com

My holiday

I spent my holiday in Sulawesi, visiting the islands biggest city Makassar and experienced the unique culture of the people who live in the mountainous region of Tana Toraja. It was also a much more pleasant climate than I'm used to in Cirebon which has to be one of the hottest, stickiest and most humid places in Indonesia. I love my air-con in my house but in Toraja I didn't need it. Bliss!

Selasa, 26 Oktober 2010

Teman di Lingkaran Ki Lurah

25 Oktober 2010
Teman di Lingkaran Ki Lurah

DUA lapangan golf kini menjadi favorit Presiden -Susilo Bambang Yudhoyono. Yang pertama Royale Golf Club, padang golf 27 hole di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur. Satu lagi Eme-ralda Golf Club, yang memiliki 18 hole di Cimanggis, Jawa Barat. Di dua tempat itulah Presiden sering menghabiskan akhir pekannya.

Ia biasa bermain bersama teman-teman seangkatannya di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Marsekal Djoko Suyanto, Marsekal Herman Prayitno, Laksamana Madya Imam Zaki, juga Jenderal Sutanto paling sering mengayun stick bersama Ki Lurah, sebutan para alumni 1973 itu buat Yudhoyono. Meski bukan seangkatan, Menteri Sekret-aris Negara Sudi Silalahi juga acap menemani bosnya di padang golf.

"Merekalah orang yang cukup dekat dengan SBY," kata sumber Tempo. Dalam beberapa kesempatan, mereka diajak bicara. Sutanto, misalnya, dimintai pendapat sebelum Presiden menunjuk Komisaris Jenderal Timur Pradopo sebagai calon Kepala Kepolisian RI. Padahal posisi resmi Sutanto adalah Kepala Badan Intelijen Negara.

Di luar "teman seperjuangan" itu, lingkaran di sekitar Yudhoyono sangat cair. Menurut Yahya Ombara, penulis buku SBY Presiden Flamboyan yang Saya Kenal, SBY membentuk lingkaran yang seperti medan magnet: banyak lingkaran dan kelompok tapi tak saling berhubungan. "Itu membuat SBY mandiri, sementara orang-orang patah tumbuh di sekitarnya," katanya.

Menurut sumber di Istana, hingga kini tak ada orang yang bisa mempe-ngaruhi SBY. Dua orang yang bisa melakukannya: Ibu Mertua dan istrinya, Nyonya Ani Yudhoyono. "'Ibu Suri dan Permaisuri' bisa mempengaruhi tapi juga tak mutlak," kata sumber itu.

Dalam wawancara dengan Tempo, kakak tertua Ani, Wijiasih Cahyasasi, mengatakan ibunya sama sekali tak pernah berhubungan dengan politik. "Kami sekeluarga sepakat melindungi beliau dari politik," katanya, Sabtu dua pekan lalu. Adapun Yudhoyono, dalam buku istrinya, Kepak Sayap Putri Prajurit, menyatakan, "Dalam agenda politik yang saya jalankan, ada teritori yang hanya menjadi wilayah saya, bukan wilayah Ibu Negara."

l l l

PADA saat awal Yudhoyono melangkah menuju ke kursi presiden pada 2004, tak banyak orang mendekat. Ta-pi, begitu hitungan cepat mempredik-si SBY menang, "Lalat-lalat mulai berdatangan- mendekat," kata Heroe Syswanto Ns., yang akrab disapa Sys Ns. Sys berada di garda depan kampanye presiden pada 2004.

Menurut Sys, ada sejumlah nama yang tetap setia hingga kini. Di antaranya Sudi Silalahi, Siti Hartati Murdaya, Ventje Rumangkang, Budi Santoso, Ahmad Mubarok, Yon Hotman, T.B. Silalahi, dan Robiq Mukav. "Hanya Pak Sudi yang tak ke Partai Demokrat," kata Sys. "Yang lainnya masuk."

Ada pula Kurdi Mustofa dan Setya Purwaka (kepala rumah tangga istana kepresidenan). Sys, Hartati, dan Mubarok sama-sama menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika digandeng SBY. "Ketika partai menang, Bu Ani menitipkan nama Pak Suratto dan Hadi Utomo," kata Sys. "Saya kemudian meneruskan ke Pak SBY." Dalam rapat pertama tim sukses 2003-2004 di Cikeas yang dipimpin SBY dan T.B. Silalahi, nama Suratto belum -masuk.

Kesetiaan Suratto -Siswodihardjo kini tak pernah hilang. Ia tetap menyokong Yudhoyono pada Pemilihan Presiden 2009. Dia bergerak dengan bendera Gerakan Pro SBY. Sejumlah politikus dan para jenderal purnawira-wan ikut barisannya. Alumni Akabri 1969 yang pensiun dengan pangkat marsekal muda ini tetangga depan rumah Yudhoyono di Cikeas. Kini ia menjadi Komisaris PT Angkasa Pura.

Sys mengatakan, dialah yang membentuk Gerakan Pro SBY. "Belakangan Pak Suratto minta izin saya untuk meneruskan. Saya tak keberatan," kata Sys. Suratto tak bisa dimintai konfirmasi soal hal ini. Telepon dan pesan pendek yang dikirim ke telepon selulernya tak dijawab.

Hartati juga orang lama yang masih bertahan di sekitar Ista-na. Pandai mencari dan mengelola uang, ia kini menjadi anggota Dewan Pembi-na- Partai Demokrat, tempat Yudhoyo-no- menjadi ketuanya. "Dialah yang meng--galang para pengusaha untuk me---nyokong SBY," kata sumber Tempo.- Wanita kelahiran 1946 ini berada di -urut-an ke-13 daftar orang terkaya Indo-nesia versi majalah Forbes 2008. Dia bos Central Cipta Murdaya dan Grup Berca.

Menurut Yahya Ombara, SBY tahu betul kapan memanfaatkan seseorang dan kapan waktu yang tepat buat meninggalkan orang itu. Ada tiga kriteria orang agar bisa terus di dekat SBY: punya jiwa pengabdian, kemampuan, dan pengorbanan. "Pak Sudi contoh yang ber-tahan," kata Yahya. Figur seperti Hatta Rajasa dan Muhaimin Iskandar masih dipakai karena pentolan partai. "Jika turun dari posisi pimpinan partai, ceritanya akan berubah," kata Yahya.

Daniel Sparringa, staf khusus bidang komunikasi politik, melihat semua langkah Presiden Yudhoyono sebagai bentuk kehati-hatian. "Beliau tak ingin menyakiti siapa pun. Semua diletakkan secara proporsional," kata Daniel.

Hubungan yang unik tampak pada Ventje Rumangkang. Dalam kepengurusan Anas Urbaningrum di Partai Demokrat, ia diminta menjadi anggota Dewan Pembina. Padahal ia sempat keluar dari Partai Demokrat untuk mendirikan Partai Barisan Nasional pada Pemilu 2009. Ditanya kedekatan dan pengaruhnya pada Yudhoyono, Ventje hanya tertawa, "Ah, siapa bilang saya berpengaruh?"

Urusan kedekatan spiritual dibangun melalui kelompok Dzikir Nurussalam yang diasuh Hatta Rajasa, Sudi Silalahi, Maftuh Basyuni, dan Brigadir Jenderal Kurdi Mustofa. Tiap malam Jumat, jemaah ini berkumpul di Masjid Baitul Rahman di kompleks Istana Kepresidenan. "Masjid yang dibangun pada zaman Presiden Sukarno itu kini diluaskan dengan biaya Rp 2 miliar," kata salah seorang staf kepresidenan. "Pak SBY sangat memperhatikan jemaah ini."

Nama yang masuk belakangan, Kuntoro Mangkusubroto, yang kemudian ditarik menjadi Ketua Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Akhir-akhir ini pengusaha Peter F. Gontha kabarnya juga mendekat melalui jalur musik. Sebagai Ketua Kadin Komite Amerika Serikat, bos PT Java Festival Production itu pun banyak membantu SBY berurusan dengan Amerika.

Juru bicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden Yudhoyono tak bisa dipengaruhi siapa pun. "Kecuali staf khusus, yang memang beliau percayai." Semua hubungan, kata Julian, bersifat formal. Presiden hanya mendengarkan masukan staf khusus, kabinet, Dewan Pertimbangan Presiden, dan UKP4. "Namun keputusan tetap berpulang pada beliau."

Banyak menghabiskan waktu bersama Presiden, Julian menyatakan Yudhoyono tak punya waktu menjalin hubungan dengan orang-orang tertentu. Pertemuan dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, atau orang berpengaruh di komunitas tertentu dilakukan hanya untuk kepentingan negara. Tak ada unsur bisnis atau pribadi. "Saya pastikan tak ada tokoh informal atau pembisik di dekat beliau," kata Julian.

Dwidjo U. Maksum

Universitas Atma Jaya Makassar

Reported By ade On November - 17 - 2009

Universitas Atma Jaya Makassar didirikan pada tahun 1980, diselenggarakan oleh Yayasan Perguruan Tinggi Atma Jaya Makassar. Izin operasional Universitas Atma Jaya Makassar dikeluarkan oleh kopertis wilayah IX pada tanggal 14 Juni 1981.

Pada tahun 1983, Universitas Atma Jaya Makassar memperoleh status terdaftar berdasarkan SK Mendikbud No. 034/0/1983 tertanggal 5 Januari 1983.

Sejak berdirinya Universitas Atma Jaya Makassar telah dipimpin oleh :
Prof. Teng Cing Leng
Dr. S. J. Jobs
Drs. Lucas Paliling, Lic.
Prof. Eduard Frans Likardja, SH.
Dr. Piet Timang, Pr
Dr. Alex Paat, Lic. Ed.
Prof. Dr. Ir. Tjodi Harlim
Universitas Atma Jaya Memiliki 4 Fakultas dan 9 Program Studi yang terdiri dari:

Fakultas Ekonomi :

Program Studi Akuntansi
Program Studi Manajemen

Fakultas Teknik :

Program Studi Teknik Elektro
Program Studi Teknik Mesin
Program Studi Teknik Sipil
Program Studi Teknik Informatika

Fakultas Hukum :

Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum :

Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum :

Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Program Studi Sosiologi Pertanian
Selengkapnya : http://uajm.ac.id/

Sabtu, 23 Oktober 2010

PERADI

SEJARAH
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan. Acara perkenalan PERADI, selain dihadiri oleh tidak kurang dari 600 advokat se-Indonesia, juga diikuti oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.



Menurut Pasal 32 ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Organisasi Advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan. Banyak pihak yang meragukan para advokat dapat memenuhi tenggat waktu yang dimaksud oleh undang-undang. Pada kenyataannya, dalam waktu sekitar 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat atau tepatnya pada 21 Desember 2004, advokat Indonesia sepakat untuk membentuk PERADI.


Kesepakatan untuk membentuk PERADI diawali dengan proses panjang. Pasal 32 ayat (3) UU Advokat menyatakan bahwa untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat dijalankan bersama-sama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Untuk menjalankan tugas yang dimaksud, kedelapan organisasi advokat di atas, pada 16 Juni 2003, setuju memakai nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).


Sebelum pada akhirnya sepakat membentuk PERADI, KKAI telah menyelesaikan sejumlah persiapan. Pertama yaitu melakukan verifikasi untuk memastikan nama dan jumlah advokat yang masih aktif di Indonesia. Proses verifikasi sejalan dengan pelaksanaan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan bahwa advokat, penasihat hukum, dan konsultan hukum yang telah diangkat saat berlakunya undang-undang tersebut dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur undang-undang. Sebanyak 15.489 advokat dari 16.257 pemohon dinyatakan memenuhi persyaratan verifikasi. Para advokat tersebut telah menjadi anggota PERADI lewat keanggotan mereka dalam delapan organisasi profesional yang tergabung dalam KKAI.


Sebagian bagian dari proses verifikasi, dibentuk pula sistem penomoran keanggotaaan advokat untuk lingkup nasional yang juga dikenal dengan Nomor Registrasi Advokat. Selanjutnya, kepada mereka yang lulus persyaratan verifikasi juga diberikan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA). Di masa lalu, KTPA diterbitkan oleh pengadilan tinggi di mana advokat yang bersangkutan berdomisili. Peluncuran KTPA sebagaimana dimaksud dilakukan pada 30 Maret 2004 di Ruang Kusumah Atmadja, Mahkamah Agung Republik Indonesia.


Persiapan kedua adalah pembentukan Komisi Organisasi dalam rangka mempersiapkan konsep Organisasi Advokat yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Kertas kerja dari Komisi Organisasi kemudian dijadikan dasar untuk menentukan bentuk dan komposisi Organisasi Advokat yang dapat diterima oleh semua pihak.


Persiapan lain yang telah dituntaskan KKAI adalah pembentukan Komisi Sertifikasi. Komisi ini mempersiapkan hal-hal menyangkut pengangkatan advokat baru. Untuk dapat diangkat menjadi advokat, selain harus lulus Fakultas Hukum, UU Advokat mewajibkan setiap calon advokat mengikuti pendidikan khusus, magang selama dua tahun di kantor advokat, dan lulus ujian advokat yang diselenggarakan Organisasi Advokat. Peraturan untuk persyaratan di atas dipersiapkan oleh komisi ini.


Setelah pembentukannya, PERADI telah menerapkan beberapa keputusan mendasar. Pertama, PERADI telah merumuskan prosedur bagi advokat asing untuk mengajukan rekomendasi untuk bekerja di Indonesia. Kedua, PERADI telah membentuk Dewan Kehormatan Sementara yang berkedudukan di Jakarta dan dalam waktu dekat akan membentuk Dewan Kehormatan tetap. Pembentukan Dewan Kehormatan di daerah lain saat ini menjadi prioritas PERADI. Ketiga, PERADI telah membentuk Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI). Komisi ini bertanggung jawab seputar ketentuan pendidikan khusus bagi calon advokat serta pendidikan hukum berkelanjutan bagi advokat.


Baik KKAI maupun PERADI telah menyiapkan bahan-bahan dasar untuk digunakan PERADI untuk meningkatkan manajemen advokat di masa yang akan datang. Penting pula untuk dicatat bahwa hingga saat ini seluruh keputusan, termasuk keputusan untuk membentuk PERADI dan susunan badan pengurusnya, telah diambil melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan berdasarkan paradigma advokat Indonesia.



Meski usia PERADI masih belia, namun dengan restu dari semua pihak, PERADI berharap dapat menjadi organisasi advokat yang bebas dan independen, melayani untuk melindungi kepentingan pencari keadilan, dan menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk melayani para anggotanya.

7 Tipe Teman Membuat Anda Umur Panjang

Betapa menyenangkan jika hidup Anda selalu dikelilingi teman yang baik dan saling memotivasi. Persahabatan macam ini memang punya manfaat besar buat kehidupan.

Menurut para ilmuwan Australia, fenomena persahabatan ternyata tidak hanya baik untuk hubungan antarnegara, tetapi juga untuk kesehatan. Studi tersebut meneliti persahabatan di kalangan wanita lanjut usia selama sepuluh tahun. Hasilnya, kehadiran teman-teman yang baik di sekeliling wanita lanjut usia dapat meningkatkan harapan hidup mereka.

Menurut laporan penelitian itu persahabatan yang kuat dapat melindungi wanita dari stres, depresi, obesitas, bahkan tekanan darah tinggi. Rasa bahagia atau membaiknya mood saat mendapat dukungan teman bisa membuat tubuh memproduksi oxytocin, hormon yang memiliki efek menenangkan.

Para ilmuwan juga menggambarkan tujuh macam teman yang dibutuhkan wanita selama hidupnya untuk mencapai kebahagiaan:

1. Teman kecil.

2. Teman baru.

3. Teman berolahraga.

4. Teman yang bisa diajak untuk berdiskusi rohani.

5. Teman yang usianya lebih muda.

6. Teman-teman kekasih/suami.

7. Ibu yang Anda anggap seperti teman sendiri. (pet)

ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN LISTRIK PADA PT.PLN CABANG PALU

Oleh: J.Alberth Mentang
NPM : 71010139


A.Pendahuluan
Pada tanggal 20 April 1999 diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang mulai efektif berlaku pada 20 April 2000. Apabila dicermati muatan materi UUPK cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat difahami mengingat kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa acapkali merupakan akibat perilaku pelaku usaha, sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku pelaku usaha tersebut diatur, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi yang setimpal. Perilaku pelaku usaha dalam melakukan strategi untuk mengembangkan bisnisnya inilah yang seringkali menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha , pada mulanya berkembang adagium Caveat emptor ( waspadalah konsumen ), kemudian berkembang menjadi Caveat venditor (waspadalah pelaku usaha ). Ketika strategi bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk ( production oriented ), maka di sini konsumen harus waspada dalam menkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini konsumen tidak memiliki banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih banyak dalam posisi didikte oleh produsen. Pola konsumtif masyarakat justru banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring dengan perkembangan IPTEK dan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin lagi mempertahankan strategi bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak akan laku di pasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi bisnisnya ke arah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar (market oriented ). Pada masa ini pelaku usahalah yang harus waspada dalam memenuhi barang atau jasa untuk konsumen. Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang- barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan ( Johannes. Gunawan, 1999 : 44 ).

Di dalam UUPK antara lain ditegaskan, pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan tersebut semestinya ditaati dan dilaksanakan oleh para pelaku usaha. Namun dalam realitasnya banyak pelaku usaha yang kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap kewajiban maupun larangan tersebut, sehingga berdampak pada timbulnya permasalahan dengan konsumen.

Permasalahan yang dihadapi konsumen dalam menkonsumsi barang dan jasa terutama menyangkut mutu, pelayanan serta bentuk transaksi. Hasil temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengenai mutu barang, menunjukkan masih banyak produk yang tidak memenuhi syarat mutu. Manipulasi mutu banyak dijumpai pada produk bahan bangunan instalasi listrik seperti kabel listrik, saklar dinding,stop kontak,steker,adaptor, pemegang bola lampu serta travo dan lain - lain. Selanjutnya, transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha cenderung bersifat tidak balance. Konsumen terpaksa menandatangani perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan oleh pelaku usaha, akibatnya berbagai kasus pembelian mobil, alat-alat elektronik,termasuk pembelian aliran tenaga listrik untuk dialirkan kerumah sekaligus menjadi pelanggan listrik PT.PLN umumnya menempatkan posisi konsumen di pihak yang lemah . Permasalahan yang dihadapi konsumen tersebut pada dasarnya disebabkan oleh kurang adanya tanggung jawab pelaku usaha dan juga lemahnya pengawasan pemerintah.

Secara normatif pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat 1,2 UUPK). Ketentuan ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian dapat ditegaskan apabila konsumen menderita kerugian sebagai akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, berhak untuk menuntut tanggung jawab secara perdata kepada pelaku usaha atas kerugian yang timbul tersebut. Demikian halnya pada transaksi antara konsumen/pelanggan listrik dengan PT.PLN, apabila pelanggan listrik/konsumen menderita kerugian sehingga menyebabkan timbulnya kerugian, maka ia berhak untuk menuntut penggantian kerugian tersebut kepada PT.PLN.

Mengingat penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Negara yang pelaksanaannya dilakukan oleh PT.PLN, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan di Indonesia adalah PT.PLN. Oleh karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat berdasarkan UUD 1945, maka harga jual tenaga listrik diatur oleh pemerintah agar terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga yang wajar.
Harga yang terjangkau adalah harapan seluruh konsumen/pelanggan listrik di seluruh Indonesia tetapi kenyataannya tariff listrik seringkali dinaikkan dengan berbagai alasan dan seringnya terjadi pemadaman listrik bergilir maupun pemadaman listrik yang tidak terencana dengan berbagai alasan pula.

PT PLN Cabang Palu di Sulawesi Tengah selama tiga bulan terakhir terus menggencarkan Operasi Penertiban Aliran Listrik (OPAL) dalam rangka menekan kasus pencurian listrik di Kota Palu. Manajer PT.PLN setempat Nyoman Sujana di Palu, Rabu (9/6/2010) mengatakan, setiap hari dilaksanakan opal, dan petugas PT. PLN berhasil menemukan banyak kasus pencurian aliran listrik di wilayah itu. Ia mengemukakan, kasus pencurian listrik tidak hanya dilakukan kalangan pelanggan rumah tangga, tetapi juga para pelaku bisnis.

Untuk kasus pencurian aliran listrik terbanyak adalah pemakaian daya melebihi dari kapasitas daya terpasang pada meteran KWh. Sujana mencontohkan, untuk daya sebesar 450 KV atau 1.300 KV, yang digunakan bersangkutan sudah sama dengan daya 3.000 atau 6.000 KV. "Pemakaian daya sama sekali tidak tercatat dalam meteran KWh. Otomatis merugikan PT.PLN," kata dia. Selain memberikan peringatan keras, pelaku pencurian juga diharuskan untuk membayar pemakaian daya dari hasil pencurian. "Kalau ternyata masih juga melakukan tindakan tersebut, terpaksa yang bersangkutan diproses hukum, dan meterah KWh terancam dicabut petugas PT.PLN," ujarnya. OPAL juga diberlakukan bagi pelanggan yang menunggak pembayaran rekening listrik hingga tiga bulan. "Bagi pelanggan yang tidak membayar rekening listrik selama tiga bulan, meteran KWh langsung di putus," ujarnya. Selain diputus aliran listriknya, pelanggan juga berkewajiban menyelesaikan utangnya kepada PT.PLN. "Jika utang dibayar, meteran KWh akan kembali disambung, tetapi dikenakan biaya pemasangan baru," kata dia.

Karena itu, Sujana mengingatkan para pelanggan listrik untuk tidak mengabaikan pembayaran rekening listrik, sebab jika lalai hingga tiga bulan, meteran KWh terancam dicabut. Selain itu, sejak awal Maret 2010 ini, biaya keterlambatan (BK) rekening listrik sudah dinaikkan dari Rp 3.000, menjadi Rp5.000 untuk daya 450 KV, daya 900 KV sebesar Rp 10.000, dan daya 1.300 KV Rp 15.000.Masa pembayaran rekening listrik dari tanggal 1 sampai 20 setiap bulan berjalan. "Jika membayar pada tanggal 21, itu berarti sudah kena denda," tambah Sujana. (www. kompas.com ).
Menurut Dahlan Iskan (Direktur Utama PT.PLN), Memikirkan 1.000 kematian sebulan ini tidak ada hubungannya dengan kenaikan TDL, baik yang lalu maupun yang konon akan naik lagi Januari tahun depan.Ini soal kebiasaan di PLN yang sudah lebih dari 30 tahun tidak kunjung berubah : listrik mati dengan alasan sedang dilakukan pemeliharaan travo maupun jaringan, Jaringan tegangan menengah maupun tegangan rendah. Padahal, di Jakarta saja, setiap hari dilakukan 36 pemeliharaan jaringan di 36 lokasi. Ini berarti dalam sebulan terjadi hampir 1.000 kali pemeliharaan, ini hanya di Jakarta. Artinya, dalam sebulan hampir 1.000 kali pula listrik mati secara “sah” di Jakarta.

Pelanggan tentu tidak lagi peduli kematian itu sah atau tidak. Toh akibatnya sama : daging dikulkas busuk, ikan koi di akuarium mati, dan apakah rambut yang tengah di shampoo dikamar mandi harus dibiarkan kering ?
Zaman sudah berubah, tinggal PLN yang belum berubah dibidang ini. Dulu, 30 tahun lalu, orang masih bisa menerima listrik mati, asal jangan malam hari, maka pemeliharaan dilakukan siang hari antara pukul 08.00 sampai pukul 16.00 delapan jam. Dulu belum ada kulkas dan belum ada ikan koi, kalau listrik mati delapan jam, rumah bisa ditinggal kesawah atau kepasar. Dulu ketika pelanggan masih sedikit, komunikasi masih mudah. Setiap kali dilakukan pemeliharaan, PLN masih sempat memberitahu seluruh pelanggan lewat surat, lalu diiklankan di Koran setempat. Tapi, pengumuman seperti itu kini tidak lagi bisa menjangkau seluruh pelanggan.(www.manadopost.com).

B.Tinjauan Pustaka
Consumer is an individual who purchases, or has the capacity to purchases,goods and services offered for sale by marketing institutions in order to satisfy personal or hausehold needs,wants or desires. Sedangkan produsen diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang dikonsumsi oleh pihak atau orang lain. Kata konsument (Belanda) oleh para ahli hukum telah disepakati sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa (uitenindelijk gebruiker van gordern en diesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernemer).
Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen langsung terikat karena perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan undang-undang. Kalau hubungan itu terjadi dengan perantaraan pihak lain, maka terjadi hubungan tidak langsung. Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan ini terjadi karena keduanya saling membutuhkan dan bahkan saling interdependensi. Hubungan pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban.

JF. Kennedy mengemukakan adanya empat hak dasar konsumen (JF. Kennedy dalam Gunawan Wijaya, 2000 : 27):
1.the right to safe products ;
2.the right to be informed about products;
3.the right to definite choices is selecting products ;
4.the right to be heard regarding consumer interest.

Dalam perkembangannya, oleh organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU), empat hak dasar tersebut ditambah dengan : hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan ganti rugi, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di dalam Rancangan Akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang disusun Universitas Indonesia tahun 1992, hak dasar konsumen tersebut dikembangkan dengan ditambah hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ( Prasetyo HP, 1997 : 6 ).

Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek hukum perdata, diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

1.Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van dengenen die zich verbiden ) ;
2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een verbintenis aan te gaan);
3.Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan
4.Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak).

Sedangkan Pasal 1365 KUH Perdata mengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat kesepakatan perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang cenderung tidak balance . Banyak konsumen ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan menjadi tidak ada sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut tidak dipenuhi, maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut ( Subekti, 1992 : 35 ).

Pada umumnya jual beli tenaga listrik antara pelaku usaha (PT.PLN ) dengan konsumen/pelanggan listrik, didasarkan pada perjanjian yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha (perjanjian baku/standar). Perjanjian tersebut mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) dan konsumen hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolak. Kekhawatiran yang muncul berkaitan dengan perjanjian baku dalam jual beli tenaga listrik adalah karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exception clause). Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya dibebankan kepada pelaku usaha. Di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf. a UUPK diatur mengenai larangan pencantuman klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Masalah tanggung jawab hukum perdata (civielrechtelijke aanspraakelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUH Perdata yang mengatur adanya pertanggung jawaban pribadi si pelaku atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid ). Di samping itu, undang-undang mengenal pula pertanggung jawaban oleh bukan si pelaku perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungan-nya, disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Dari pasal ini nampak adanya pertanggung jawaban seseorang dalam kualitas tertentu (kwalitatieve aansprakelijkheid) .

Pada asasnya kewajiban untuk memberikan ganti rugi hanya timbul bilamana ada unsur kesalahan pada si pelaku perbuatan melawan hukum dan per-buatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Jadi harus ada unsur kesalahan pada si pelaku dan perbuatan itu harus dapat dipertang-gungwabkan kepadanya (schuld aansprakelijkheid). Dari segi hukum perdata, tanggung jawab hukum tersebut dapat ditimbulkan karena wanprestasi, perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ), dan dapat juga karena kurang hati-hatinya mengakibatkan cacat badan ( het veroozaken van lichamelijke letsel ).

Di samping itu, di dalam UUPK juga telah diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19. Menurut pasal ini pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian, secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha, sebagai upaya melindungi pihak konsumen.
Secara teoritik, di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diatur beberapa macam tanggung jawab ( liability ) sebagai berikut ( Johannes. Gunawan, 1999 : 45-46 )

1.Contractual Liability
Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha (barang atau jasa) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability (Pertanggungjawaban Kontrak-tual), yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasil-kannya atau memanfaatkan jasa yang diberi-kannya. Selain berlaku UUPK, khususnya ketentuan tentang pencantuman klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUPK, maka tanggung jawab atas dasar perjanjian dari pelaku usaha, diberlakukan juga hukum perjanjian sebagaimana termuat di dalam Buku III KUH Perdata.

2.Product Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Product Liability (Pertanggung jawaban Produk),yaitu tanggung jawab perdata secara langsung ( Strict Liability ) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya.

3.Professional Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar (inspanning-sverbintenis), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Professional Liability (Pertanggung jawaban Profesional), yang menggunakan tanggung jawab perdata secara langsung (Strict Liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya. Sebaliknya, dalam hal terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, dan prestasi pemberi jasa tersebut terukur sehingga merupakan perjanjian hasil (resultaants verbintennis), maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Professional Liability , yang menggunakan tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian (Contractual liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya.

4.Criminal Liability
Dalam hal hubungan pelaku usaha dengan negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat ( baca: konsumen), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Criminal Liability (pertanggungjawaban pidana), yaitu tanggungjawab pidana dari pelaku usaha atas terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen).

Dalam jual beli tenaga listrik terdapat perjanjian antara PT.PLN dengan konsumen/pelanggan listrik. Oleh karena itu tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian / kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen akibat membeli listrik dari PT.PLN .

C.Metode Penelitian
1.Kualifikasi Penelitian
a.Penelitian ini hendak menganalisis tanggung jawab perdata pelaku usaha dalam hal terjadi kerugian konsumen/pelanggan listrik. sebagai upaya perlindungan konsumen. Oleh karena yang dikaji adalah realitas tanggung jawab perdata pelaku usaha terhadap kerugian konsumen, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empirik.
b.Penelitian ini akan menggambarkan secara sistematis, lengkap dan menyeluruh mengenai tanggung jawab perdata pelaku usaha terhadap kerugian konsumen, maka penelitian ini bersifat deskriptif

2.Data Penelitian dan Sumber Data
a.Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama penelitian ini. Data primer berupa hasil wawancara dengan pelaku usaha (PT.PLN Cabang Kota Palu), dan konsumen/pelanggan listrik PT.PLN. Sedangkan data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer. Data sekunder berupa dokumen-dokumen perjanjian jual beli listrik, hasil penelitian, karya ilmiah khususnya yang berhubungan dengan persoalan perlindungan hukum konsumen.
b.Adapun sumber data primer meliputi pelaku usaha (PT.PLN) , konsumen/pelanggan listrik, serta YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Sumber data sekunder meliputi dokumen-dokumen perjanjian jual beli, hasil penelitian, karya ilmiah khususnya yang berhubungan dengan persoalan perlindungan hukum konsumen/pelanggan listrik PT.PLN Cabang Palu..

3.Informan
Dalam penelitian ini, subyek yang diteliti lebih dipandang sebagai informan yang akan memberikan informasi mengenai permasalahan yang hendak diteliti.
Untuk menentukan informan digunakan teknik purposive sampling , yaitu penelitian informan berdasarkan pertimbangan subyektif peneliti, bahwa informan bersangkutan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk penelitian ini.

4.Teknik Pengumpulan Data
a.Wawancara
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data primer. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur (interview guide). Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang sebelumnya telah disusun oleh peneliti. Wawancara dilakukan secara mendalam (in depth interviewing) guna dapat menggali informasi secara lengkap dan menyeluruh.
b.Mencatat dokumen
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Berbagai dokumen yang menjadi sumber data sekunder dikaji substansinya secara cermat dan mendalam, dengan menggunakan metode content analysis guna memperoleh data yang relevan dan dibutuhkan dalam penelitian.

5.Analisis Data
Sesuai dengan data yang dikumpulkan yang berupa keterangan atau informasi, jadi tidak berwujud angka-angka dan tidak dimaksudkan untuk diangkakan, maka teknik analisis yang digunakan bersifat kualitatif.
Sifat dasar analisis ini bersifat induktif, yaitu cara-cara menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, yaitu hasil wawancara dengan informan kearah hal-hal yang bersifat umum. Hanya saja penarikan kesimpulan ini tidak dimaksudkan untuk menarik suatu generalisasi.
Dengan teknik analisis kualitatif ini, hendak disimpulkan dan diungkapkan secara obyektif, sistematik dan menyeluruh mengenai tanggungjawab perdata pelaku usaha dalam hal terjadi kerugian konsumen/pelanggan listrik sebagai upaya perlindungan konsumen.

D.Hasil Penelitian dan Pembahasan
Peraturan Perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum oleh konsumen/pelanggan listrik yang menderita kerugian, untuk menuntut tanggungjawab perdata kepada PT.PLN, sebagai upaya memperoleh perlindungan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 juncto Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Het Herziene Inlandsche Reglement(HIR) Stb. 1941- 44, dan Pasal 45 UUPK, peraturan ini dapat dijadikan dasar hukum untuk mengajukan gugatan perdata kepada pelaku usaha di Pengadilan Negeri. Apabila gugatan perdata itu tidak dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh sekelompok konsumen ataupun lembaga swadaya masyarakat, maka ketentuan hukum yang digunakan yaitu Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (class action). Landasan hukum lain yang dapat dijadikan dasar hukum untuk menuntut tanggungjawab perdata pelaku usaha adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian sengketa dan Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 47 UUPK. Ketentuan ini memberikan kemungkinan bagi penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Selanjutnya penyelesaian sengketa konsumen dapat pula dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 49 sampai dengan 58 UUPK.

Tanggungjawab perdata PT.PLN belum dilaksanakan sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen . Tentang pelayanan PT.PLN memang belum begitu menggembirakan, penelitian yang dilaksanakan di wilayah kerja PT. PLN Wilayah Sulutenggo Cabang Palu yang berlangsung selama dua bulan. dan yang menjadi kelompok sasaran penelitian adalah pelanggan yang melaporkan keluhan dan tercatat pada database dinas pelayanan gangguan PT.PLN Cabang Palu.

Dengan adanya Surat Keputusan Menteri Pertambangan Dan Energi sebagai pedoman yang pasti, baik dari sisi konsumen dan PT.PLN dalam merespon berbagai gangguan yang terjadi dalam penyelenggaran jasa kelistrikan, mendesak kebutuhan adanya standar mutu pelayanan PT.PLN. Dari standar ini baik PT. PLN maupun konsumen mempunyai acuan yang sama. Sehingga ada kejelasan gangguan-gangguan apa saja konsumen mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi, sebaliknya bagi PT. PLN juga mempunyai tanggung jawab yang jelas.

Bahwa setidaknya ada tiga peraturan yang dapat kita jadikan acuan yaitu : UU No.30 Thn 2009 tentang Ketenagalistrikan, Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik dan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02. P/451/M.PE/1991 tentang Hubungan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistikan untuk Kepentingan Umum dan Masyarakat.
Dalam pasal 25 ayat (3) PP No. 10/1989 disebutkan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan PLN wajib :
1.Memberikan pelayanan yang baik ;
2.Menyediakan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu
dan keandalan yang baik ;
3.Memberikan perbaikan, apabila terjadi gangguan listrik ;
4.Bertanggung jawab atas segala kerugian atau bahaya terhadap
nyawa, kesehatan dan barang yang timbul karena kelalainnya.

Disamping keempat kewajiban tersebut di atas, menurut Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02. P/451/M.PE/1991, Pasal 3 ayat (1) huruf e, “PLN wajib memberikan kompensasi berupa reduksi apabila terjadi penghentian sementara penyaluran tenaga listrik, yang berlangsung terus menerus melebihi jangka waktu sampai 3 x 24 jam (tiga kali dua puluh empat jam) dengan ketentuan bahwa peraturan pelaksanaanya diatur Pengusaha dan disahkan Direktur Jenderal Menteri dan pertambangan energi”,sedangkan menurut UU ketenagalistrikan No. 30 Thn 2009 Pasal 28 PLN wajib :

a.Menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan andalan yang berlaku ;
b.Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat ;
c.Memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan ; dan
d.Mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

Apa yang diatur dalam ketiga peraturan tersebut sebenarnya sudah memberi dasar yang kuat tentang arti penting adanya standar mutu pelayanan PT.PLN. Ada dua langkah yang dapat dilakukan sebagai penjabaran ketentuan diatas. Perlunya aturan pelaksanaan yang mengatur lebih detail ketentuan diatas dan mensosialisasikan peraturan tersebut kepada masyarakat luas.

Apabila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat Indonesia berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum.Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ketiga unsur kaidah diatas, sebab (1) apabila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati ; (2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, kaidah itu menjadi aturan pemaksa ; (3) apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). (H.Zainuddin Ali. 2006 ; 94)

Tentang mutu keandalan tenaga listrik PT.PLN misalnya harus ada batas-batas keandalan dan kriteria yang lebih jelas. Disini antara PT.PLN dan konsumen harus ada rasa saling pengertian. PT.PLN harus dapat memahami tuntutan konsumen akan kebutuhan kriteria mutu pelayanan yang jelas. Di sisi lain konsumen juga harus memahami tingkat kemampuan PT.PLN dalam menyediakan tenaga listrik memang belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan seluruh lapisan masyarakat, dan sedikit demi sedikit akan ditingkatkan.

Menyangkut pemadaman listrik misalnya ada beberapa wilayah tertentu yang kwalitas keandalannya baik artinya sudah ditentukan pemadaman tidak boleh lebih dari 20 kali perpelanggan pertahun. Apabila di wilayah tersebut terjadi pemadaman di bawah 20 kali perpelanggan pertahun konsumen harus dapat memahami kemampuan PT.PLN baru sebatas itu. Tetapi apabila pemadaman terjadi lebih dari 20 kali per pelanggan per tahun, disini sudah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan konsumen berhak menuntut kompensasi kepada PT.PLN. Dengan adanya standar mutu pelayanan PT.PLN ada acuan yang sama antara PT. PLN dengan konsumen. Hal ini penting ketika terjadi ketegangan hubungan antara PT.PLN dengan konsumen soal pelayanan PT.PLN dapat diselesaikan berdasarkan tolak ukur yang objektif.

Menurut pasal 4 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor : 76/K/49/M.PE/1993 pelanggan diwajibkan membayar atas pemakaian tenaga listrik setiap bulan. Tidak boleh dengan cara mencicil. Pembayaran rekening listrik disamping dapat dilakukan di loket pembayaran (payment point) yang dikelola bekerjasama dengan 19 Bank pemerintah dan swasta juga dapat dilakukan melalui lalu lintas giralisasi. Pada saat ini ada 43 Bank swasta yang telah mempunyai ikatan kerjasama dengan PT.PLN menyediakan fasilitas bagi nasabahnya berupa pelunasan tagihan listrik yang dipotongkan pada account number pelanggan PT. PLN. Pelanggan tidak perlu berdesak-desakan antri di loket-loket pembayaran.

Menurut pasal 29 Ayat 2 UU Ketenagalistrikan No 30 Thn 2009 Konsumen/Pelanggan listrik wajib :
a.melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin
timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
b.menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;
c.memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;
d.membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan
e.menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan

Kasus melonjaknya voltase listrik dari 220 volt menjadi 380 volt, berakibat rusaknya ratusan alat-alat listrik milik warga telah menimbulkan reaksi. Reaksi yang paling keras tentu saja dari warga yang menjadi korban kejadian tersebut. Kemudian PT.PLN selaku penyelenggara jasa kelistrikan yang juga telah melahirkan berbagai komentar dari para pakar hukum.

Dari berbagai reaksi tersebut sebenarnya inti pokok persoalannya pada hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dalam hal ini PT.PLN selaku produsen jasa kelistrikan dan warga selaku konsumen. Reaksi konsumen untuk menuntut kerugian, misalnya merupakan pencerminan dari adanya kesadaran bahwa sebagai konsumen mereka punya hak. Sebaliknya sikap tegas PT. PLN akan memberi ganti rugi kepada konsumen lebih jauh lagi apabila peristiwa yang serupa terulang kembali, memotong gaji pejabat PT.PLN adalah cerminan sikap tanggung jawab PT.PLN sebagai penyelenggara jasa kelistrikan.

Kondisi ideal hubungan antara PT.PLN dengan pelanggan listrik adalah keduanya melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing tanpa harus ada paksaan atau tekanan dari pihak ketiga. Namun demikian kalau kita teliti lebih jauh reaksi kedua belah pihak (PLN dan pelanggan) sebenarnya lebih bersifat reaksi yang spontan. Bukan merupakan sikap yang didasari pada aturan transparan yang mengharuskan mereka bersikap seperti apa yang mereka lakukan dalam merespon kejadian-kejadian tersebut.
Dari sisi konsumen, mereka menuntut ganti rugi dilatarbelakangi oleh :
1.Sebagai warga masyarakat menengah ke bawah alat - alat rumah
tangga yang rusak akibat adanya gangguan dan pemadaman listrik mendadak memiliki nilai ekonomi yang tinggi;
2.Konsumen berontak menuntut ganti rugi ketika dihadapkan pada
situasi penderitaan dahsyat sebuah gejala umum perilaku konsumen di Indonesia.

Sikap konsumen berani menuntut ganti rugi masih perlu diuji konsistensinya, manakala sebagai konsumen jasa kelistrikan dihadapkan pada kasus pelanggaran yang tingkat gradasinya lebih rendah, seperti kasus :
1.Tingginya frekuensi pemadaman listrik;
2.Kasus labilnya voltase listrik walaupun tidak sampai merusak alat –
alat elektronik tetapi telah menjadikan alat-alat tersebut tidak berfungsi secara optimal.

Dari sisi PLN sikap tegasnya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen dilatarbelakangi oleh :
1.Tingkat gangguan pelayanan listrik sudah sampai pada batas, di -
dimana penyelesainya tidak cukup hanya dengan meminta maaf;
2.Kasus ini sudah tersebar luas ke masyarakat melalui media massa.

Bentuk reaksi PLN dalam menanggapi kasus ini sangat berpengaruh terhadap citra PLN di masyarakat.
Untuk dapat dikatakan seseorang atau badan hukum /usaha/ lembaga lainnya menjadi pelanggan/Konsumen PT PLN setelah semua persyaratan dipenuhi dengan membayar biaya penyambungan (BP), Uang jaminan langganan (UJL), dan menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) diatas meterai, sejak saat itu telah menjadi pelanggan/konsumen PT PLN kemudian menyusul pembuatan rekening listrik berdasarkan pembacaan meteran, Pemakaian kwh bulan berjalan untuk menentukan penagihan rekening listrik. Adapun perlindungan hukum yang diberikan terhadap pelanggan/konsumen PT PLN Persero yaitu hanyalah berupa pelanggan yang mengalami gangguan pemadaman (jumlah waktu padam yang dialami konsumen dalam satu bulan) atau, jumlah gangguan ( banyaknya kejadian pemadaman yang dialami konsumen dalam satu bulan), serta kesalahan pembacaan KWH meter .

Kemudian apabila pelanggan/konsumen mengalami gangguan pemadaman listrik dan kesalahan pembacaan KWH meter, maka berdasarkan Kep.DIRJEN Listrik Dan Pemanfaatan Energi tanggal 27 Januari 2004 No.30-12/40/600.3/2004 tentang tata cara pengurangan tagihan listrik akibat tidak terpenuhinya standar mutu pelayanan pada perusahaan (Persero) PT PLN untuk lama gangguan, jumlah gangguan dan atau kesalahan pembacaan KWH meter. Dalam keputusan Dirjen tersebut pasal 3 disebutkan besaran ganti rugi yang dapat diajukan oleh pelanggan/konsumen yaitu Pengurangan tagihan listrik kepada konsumen sebesar 10 % (Sepuluh persen) dari biaya beban konsumen dan diperhitungkan pada tagihan listrik bulan berikutnya.

Pengurangan tagihan listrik terus diberlakukan selama kondisi gangguan masih ada dan konsumen berhak menagih kepada unit pelayanan setempat. Pelaksanaan Mutu pelayanan untuk masing-masing indikator pelayanan dapat ditetapkan secara berbeda untuk setiap Cabang/ Area Pelayanan/ Unit/ Rayon dan ranting.
Dari hasil pemaparan diatas, maka dapat diketahui bahwa bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh PT.PLN Cabang Palu terhadap para pelanggan yang mengalami kerugian dan atau kerusakan yaitu dengan memberikan ganti rugi terhadap kerusakan yang diderita para pelanggan meskipun sebagian pelanggan tidak merasa puas dengan ganti rugi tersebut. Hal ini sebagai implementasi dari peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Pasal 19 Undang Undang Perlindungan Konsumen tentang tanggungjawab pelaku usaha.

Hingga sampai saat ini di kota Palu belum dibentuk BPSK Sehingga para konsumen/pelanggan listrik melaporkan pengaduannya hanya melalui YLKI sebagai sarana perantara antara PT.PLN dan pelanggan listrik di Kota Palu, masalah kerugian yang dialami oleh pelanggan listrik selaku konsumen ini diselesaikan oleh YLKI dengan jalan damai melalui cara mediasi dan negosiasi. Pelanggan listrik/konsumen sebagai pihak korban lebih memilih menerima tawaran ganti rugi secara kekeluargaan yang diberikan oleh pelaku usaha meskipun ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen dan enggan melanjutkan kasus ini lebih jauh kepengadilan dengan alasan biaya dan juga keengganan berurusan dengan pihak yang berwenang. Hal ini membuktikan bahwa walaupun hak-hak konsumen sudah diatur dan dijamin dalam hukum positif seperti KUHPerdata, Undang Undang Ketenagalistrikan, Undang Undang Perlindungan Konsumen, tetapi konsumen kurang menyadarinya, atau mungkin tidak tahu akan hak-haknya sendiri.Sedangkan YLKI adalah sebagai lembaga advokasi yang melindungi kepentingan masyarakat pelanggan listrik/konsumen yang sering dirugikan dengan masalah kelistrikan di Sulawesi Tengah secara khusus dikota Palu, YLKI tidak konsisten untuk dapat bertindak lebih jauh menfasilitasi pengaduan masyarakat yakni pelanggan listrik agar dapat dilakukannya upaya hukum dengan cara menggugat di BPSK Makassar ataupun menggugat melalui pengadilan setempat terhadap kerugian yang dialami konsumen/pelanggan listrik dikota Palu.

Dari hasil penelitian penulis tentang tingginya pengaduan masyarakat pelanggan listrik dikota Palu kepada PLN dan YLKI adalah mengenai tuntutan kerugian dari kerusakan beberapa peralatan elektronik milik masyarakat pelanggan listrik yang diakibatkan adanya pemadaman terencana dan pemadaman tidak terencana serta kerugian konsumen dengan adanya penyambungan baru illegal.

Dalam kurun tiga tahun terakhir pemadaman listrik terjadi bukan saja dikota Palu akan tetapi hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami pemadaman secara bergiliran akibat krisis listrik. Seharusnya pemerintah memperhatikan masalah krisis listrik yang terjadi selama ini, karena banyak masyarakat yang dirugikan.

Sikap tegas PLN mengganti rugi kepada masyarakat, juga masih perlu diuji lagi, khususnya dalam menanggapi peristiwa sejenis di masa yang akan datang. Apakah PLN juga akan mengganti rugi terhadap berbagai gangguan-gangguan kecil yang sering dialami oleh konsumen. Seperti tingginya frekuensi kasus pemadaman yang tidak terencana dan lain-lain.

Dari hasil penelitian juga diketahui, bahwa tidak ada satupun klaim yang diajukan diteruskan sampai ke Pengadilan Negeri. Tanggungjawab yang ditunjukkan oleh PT.PLN ini memang sejalan dengan ketentuan Pasal 19 UUPK, yang pada pokoknya menegaskan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan / kerugian konsumen, dan ganti rugi itu dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang yang serupa atau senilai harganya.

Menurut UUPK prosedur hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang menderita kerugian, untuk menuntut pertanggung jawaban perdata kepada PT.PLN adalah dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Gugatan yang diajukan didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Di samping itu dapat juga dilakukan gugatan secara class action apabila diajukan oleh sekelompok konsumen ataupun oleh lembaga swadaya masyarakat. Gugatan secara class action juga daijukan kepada Pengadilan Negeri. Sebenarnya undang-undang (Pasal 49 UUPK) mengatur soal penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan oleh suatu lembaga yang disebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ), namun untuk wilayah Kota Palu, badan semacam itu belum terbentuk.

E.Simpulan
Peraturan Perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum oleh konsumen/pelanggan listrik yang menderita kerugian, untuk menuntut tanggungjawab perdata PT.PLN, sebagai upaya memperoleh perlindungan hukum yakni UUPK, HIR, UU No.2 Tahun 1986, PERMA No. 1 Tahun 2002, UU No. 30 Tahun 1999.Tanggungjawab perdata pelaku usaha PT. PLN Cabang Palu belum dilaksanakan sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen.Prosedur hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang menderita kerugian, untuk menuntut pertanggungjawaban perdata kepada PT.PLN yaitu dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan negeri, atau gugatan class action, ataupun melalui BPSK.

F.Saran
Agar hak dan kewajiban konsumen/pelanggan listrik maupun hak dan kewajiban pelaku usaha/PT.PLN mendapatkan perlindungan secara wajar, perlu kiranya upaya terus-menerus untuk melakukan sosialisasi Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Dengan semakin banyaknya kasus mengenai konsumen yang terjadi, dan agar kepentingan konsumen secara umum mendapatkan perlindungan yang memadai, kiranya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen khususnya untuk wilayah Kota Palu, segera dapat dibentuk.

G.Daftar Pustaka
Widjaya,Gunawan. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, cet Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
---------------------,Filsafat Hukum, cet ke 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Evianto,Hady.1999. Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar Keinginan Melainkan Suatu Kebutuhan. Hukum dan Pembangunan. Nomor 6 Tahun XVIII. Desember 1990. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Syawali,Husni. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung : Mandar Maju.
Gunawan,Johannes. Tanggungjawab Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Jurnal Hukum Bisnis. Volume 8 Tahun 1999. Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta : Grasindo.
Subekti. 1992. Hukum Perjanjian . Jakarta : Pradnja Paramita.
Badrulzaman,Mariam Darus. 1986. Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar). Jakarta : Binacipta.
Purwandoko,Prasetyo Hadi. 1997. Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen. Makalah, Disampaikan Pada Seminar Nasional Perlindungan Konsumen Dalam Era Pasar bebas. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNS, Tanggal 15 Maret
BW/KUHPerdata.Cet.20 Jakarta, Pradnya Paramita, 1986
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42. Tahun 1999.
Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 30 Thn 2009 tentang Ketenagalistrikan,
http://www.kompas.com. 2010.
Memikirkan 1.000 Kematian Sebulan.http://www.manadopost.Tahun 2010.

Jumat, 22 Oktober 2010

KASUS HUKUM PEMBONGKARAN MAKAM MBAH PRIOK DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

Oleh :
J.A. Mentang
NPM : 71010139



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 14 April 2010. terjadi bentrok antara warga Koja Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan Satpol PP. Permasalahannya, oleh karena warga setempat tak terima makam Mabah Priok akan di eksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas dasar pemohon PT.Pelindo . Meski secara hukum, PT Pelindo terhitung sah melakukan hal tersebut.Warga naik pitam karena kasus akan digusurnya makam Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhamad al Hadad. Ia seorang suci penyiar Islam pertama di Betawi, yang sudah dimakamkan di sana sejak tahun 1756 (Kompas, 16/04/10).

Konflik tak terhindarkan, korban jiwa berjatuhan. Tiga tewas semuanya anggota Satpol PP. Sementara, ratusan lain luka-luka. Massa juga membakar sejumlah mobil polisi dan menjarah. Peristiwa itu berlangsung selama dua hari (14-15 April 2010). Dan seluruh media meliputnya.

Sejak pagi ratusan orang dua keyakinan saling berhadap-hadapan. Satu berkeyakinan hukum mesti ditegakkan, sementara yang lain berkeyakinan ini adalah tanah warisan, tanah keramat dan penuh sejarah, mesti dipertahankan hingga tetes darah penghabisan. Sampai nyawa pun taruhannya, ini terlihat dari perlengkapan yang dibawah oleh tiap-tiap orang di sana. Ada tombak/bambu runcing, ada kelewang, ada golok, ada batu-batuan, ada pula senjata api rakitan. Sementara dari pihak yang berkeyakinan hukum, mereka bersenjata lengkap tameng non senjata api apalagi sajam (baca:senjata tajam), hanya pentungan saja.
Mulai dari saling dorong hingga saling terjang. Mulai dari saling pukul sampai saling tusuk dan tebas. Korban luka-luka berjatuhan. Semua itu anak-anak bangsa yang konon kabarnya penuh dengan keramahtamahan, yang katanya berbudaya luhur, yang menurut nenek moyang, bangsa ini bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Tapi apa yang terjadi di kawasan Tanjung Priok, sangat jauh dari kabar-kabar yang teramat mulia itu. Entah mana yang mesti dipercaya. Saat institusi pemerintah pun terkesan kabur di mata masyarakat. Saat aparat hukum bisa dibayar, dan keadilan menjadi benar-benar buta, tanpa daya lihat bahkan di kegelapan sekalipun. Saat sejarah dan legenda bercampur jadi satu bak gado-gado, sehingga masyarakat pun terkesan terdorong ke arah takhayul semata. Tak ada yang tahu pasti, apakah itu benar dan apakah itu salah. Semuanya abu-abu.
Sekalipun akhirnya kompromi didapat, perbincangan dilakukan. Duduk di meja yang sama untuk bicara solusi yang baik. Tapi itu semua telah terjadi setelah ada simbah darah di sana, setelah sesama anak bangsa menebar kebencian satu sama lain. Kompromi damai pun digelar. Apakah mesti ada korban dulu baru akal sehat bermain…? Mengapa emosi yang mesti menjadi panglima tanpa nurani..?
Kompromi yang bisa jadi jalan tengah pun seolah diragukan sejumlah pihak yang tetap memegang teguh prinsip negara hukum. Mengapa hukum bisa dikompromikan..? Di lain pihak, hukum pun dipertanyakan, apakah benar-benar sahih atau akal-akalan semata?
Keputusan pembongkaran sudah diputus di pengadilan (secara hukum), bila kurang puas, tentunya harus dilawan dengan hukum pula, mengajukan upaya hukum dengan cara keberatan ke pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi.
B.Permasalahan
Dari rumusan masalah tersebut di atas dapat ditentukan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana peran ilmu sosiologi hukum dalam rangka penyelesaian sengketa pembongkaran makam Mbah Priok ? Pada makalah ini juga penulis akan menelusuri mengapa sehingga timbulnya Kasus Hukum Pembongkaran Makam Mbah Priok dilihat dari aspek sosiologi hukum ?
C.Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas mata Kuliah Sosiologi Hukum peserta Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta , Angkatan ke - IV Tahun 2010 Kelas Palu.


BAB II
PEMBAHASAN

1.Sejarah Makam Mbah Priok
Nama Mbah Priok tiba-tiba saja menjadi pembicaraan setelah terjadi bentrokan hebat antara Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan warga. Siapa sebenarnya Mbah Priok? Mbah Priok adalah julukan untuk Habib Hasan al-Haddad, pendakwah agama Islam yang hidup sekitar abad ke-18. Lelaki ini berasal dari Timur Tengah ini dan diperkirakan meninggal pada 1756 dan dimakamkan di Pulau Pondok Dayung.
Pada 1930, kolonial Belanda memindahkan makamnya ke Tempat Pemakaman Umum Dobo di Koja. Lalu pada 1987, pemerintah memindahkan kompleks pemakaman Dobo ke TPU Budi Dharma di Cilincing. Satu versi menyebutkan, kerangka jenazah Mbah Priok dipindah pada 1997. Namun, setelah dua tahun dipindah, ahli waris justru membangun kompleks makam di sana. Padahal lahan itu milik PT Pelindo. (Jakarta (voa-islam.com).
Versi lain, menurut arkeolog Candrian Attahiyat seperti dikutip Berita Jakarta, memang ada pemindahan makam secara massal dari Dobo ke Cilincing pada 1994. "Saat makam lain dipindah, makam Mbah Priok dipertahankan," kata Candrian.
Ahli waris Habib Hasan al-Haddad mengklaim lahan pemakaman itu adalah milik keluarga berdasarkan verklaring nomor 1268/RB pada 19 September 1934. Pada 2001, ahli waris menggugat PT Pelindo II melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tapi pengadilan tidak menerima gugatan tersebut. Ahli waris tidak mengajukan banding untuk melawan keputusan itu.
Mereka tetap mempertahanan dua bangunan yang ada di lahan seluas 5 hektare itu. Satu bangunan berukuran 10 x 8 meter digunakan Habib Ali Al Idrus, ahli waris makam, sebagai tempat tinggalnya bersama keluarga dan sekitar 20 orang santrinya. Sementara satu bangunan lagi, berukuran 8 x 6 adalah tempat makam Habib Hasan.
Meski kalah dalam banding, ritual di makam itu tetap terjadi. Bila ada haul, ada sekitar seribuan orang berkumpul dan mengaji bersama di areal makam seluas seluas 5 hektare. Haul itu, tentu saja mendatangkan rezeki bagi penduduk sekitar. Mereka berjualan mulai dari kembang, peci, mukena, makanan sampai aneka baju.
Sengketa tanah ini makin memuncak setelah pemilik tanah PT Pelindo II atau Jakarta Indonesia Container Terminal (JICT) mencoba menggusur makam ini. Pemerintah Jakarta Utara juga ikut mengeluarkan surat perintah bongkar untuk membongkar makam itu. Akhir tahun lalu, misalnya, mereka sudah menyegel pagar makam itu. Toh, para peziarah tak surut. Ribuan orang tetap berziarah di sana.Meski pemerintah Jakarta Utara juga mengeluarkan surat perintah bongkar untuk membongkar makam itu, tapi para peziarah tak surut. Ribuan orang tetap berziarah di sana.

2. Pengertian Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.

Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya. Soerjono Soekanto/Satjipto Rahardjo membuat rumusan yang sama tentang sosiologi hukum yakni sosiologi hukum mempelajari hubungan timbal balik antar hukum dan masyarakat.

Soerjono Soekanto, Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lannya.

Menurut Satjipto Rahardjo, Sosiologi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.
(Prof.DR.H. Zainuddin Ali,MA, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 1)

Sedangkan Prof. M. Abduh, kurang menyetujui pemakaian istilah; Hubungan—karena hukum bukan manusia yang mempunyai hubungan cinta. Akan lebih tepat jika dikatakan sosiologi hukum adalah bias/refleksi hukum dalam masyarakat dan sebaliknya bias/refleksi masyarakat ke dalam hukum.

Sosiologi hukum memiliki kegunaan antara lain, memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial; penguasaan konsep-konsep sosial hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, sarana mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu; sosiologi hukum memberikan kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi-evaluasi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat.
Karakteristik kajian sosiologi hukum, adalah fenomena hukum dalam masyarakat dalam mewujudkan : Deskripsi, Penjelasan, Pengungkapan (revealing) dan Prediksi.
Kajian Sosiologi Hukum sebagai berikut :
Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu praktik – praktik hukum didalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi , sebab-sebabnya, factor – factor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dan sebagainya.Hal itu memang asing kedengarannya bagi studi hukum normatif, Studi hukum normatif kajiannya bersifat perspektif, hanya berkisar pada “ apa hukumnya” dan “bagaimana menerapkannya”.Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Max Weber yang menamakan cara pendekatan demikian itu sebagai suatu Interpretative understanding, yaitu cara menjelaskan sebab, perkembangan, serta efek dari tingkah laku sosial.Dengan demikian, mempelajari sosiologi hukum adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum sehingga mampu mengungkapkannya. Tingakah laku dimaksud mempunyai dua segi yaitu “Luar” dan “Dalam”.Oleh karena itu sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang bersifat internal, yaitu yang meliputi motif-motif tingkah laku seseorang apabila disebut tingkah laku (Hukum), maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai dengan hukum dan yang menyimpang.Kedua – duanya diungkapkan sama sebagai objek pengamatan penyelidikan ilmu ini. (Prof.DR.H. Zainuddin Ali,MA, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 8 & 9)

3. Pengertian Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
 Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
 Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
 Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
4. Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu : Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
1. Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
2. mengenai masalah status tanah ;
3. masalah kepemilikan ;
4. masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan.
Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
5.Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
1. Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
2. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
3. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
4. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
6.Sertifikat
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1. Sistem Positif, menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif. menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
7. Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing ;
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah ;
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
8. Kasus Hukum Pembongkaran Makam Mbah Priok
Konflik kepemilikan lahan mulai mencuat di tahun 1997, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membongkar kompleks Makam Mbah Priok untuk perluasan Pelabuhan, kompleks makam itu kini mulai dipenuhi makam penduduk sekitar. Meski makam warga akhirnya dipindahkan ke daerah Semper Jakarta Utara, ahli Waris Mbah Priok menolak rencana itu. Hingga kini masih ada 13 makam keluarga dinaungi rumah permanen ala Joglo dan biasa di ziarahi penduduk seantero Jabodetabek.

Mulanya, makam asli Mbah Priok ada di kawasan Pondok Dayung. Namun pada suatu saat, makam ini dipindahkan ke lokasi yang ada sekarang, di Jl TPU Dobo, Koja. Ironisnya, semakin berkembangnya kemajuan zaman, di kawasan pemakaman tersebut tumbuh kawasan pelabuhan terpadu Tangjungpriok. Hingga akhirnya, makam ulama besar ini posisinya berdampingan dengan terminal peti kemas (TPK) Koja dan pemukiman warga.Masyarakat pun tak mempedulikannya, setiap saat selalu ziarah dan takziah di makam tersebut. Sholawat dan salam, takbir, tahmid senantiasa berkumandang di tempat tersebut. Bahkan setiap Kamis malam, umat muslim selalu berzikir, berdoa bersama, dan menggelar pengajian secara rutin. Umat muslim yang datang bukan hanya warga ibu kota, akan tetapi juga berasal dari berbagai pelosok di negeri ini. Biasanya kegiatan tersebut selalu diselingi dengan acara makan bersama, yang disajikan oleh para ahli waris makam tersebut.

Kodrat berdampingan dengan pelabuhan ini pula, nampaknya yang menjadi pemicu terjadinya konflik. Apalagi PT Pelindo mengklaim bahwa sebagian lahan yang digunakan dengan ahli waris adalah miliknya, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.
Sengketa kepemilikan tanah ini pun diajukan gugatan oleh Habib Muhamman bin Achmad selaku ahli wais makam Mbah Priok kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan nomor perkara 245/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Ut. Selain itu juga telah dikeluarkan putusan PN Jakarta Utara pada 5 Juni 2001 dengan amar putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima. Pertimbangan hukumnya adalah kuasa hukum penggugat tidak sah, gugatan penggugat tidak jelas dan kurang pihak.
Mendengar hal itu, ahli waris Mbah Priok beserta pengikutnya mengajukan protes. Mereka mengklaim bidang tanah ini milik ahli waris dan bukan milik PT Pelindo II. Klaim dinyatakan berdasarkan Eigendom Verponding No.4341 dan No.1780. Namun setelah dilakukan penelitian kembali oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara, tanah tersebut dinyatakan telah tertulis sebagai milik PT Pelindo II.
Kantor Pertanahan Jakarta Utara telah mengeluarkan surat tertanggal 6 Februari No 182/09.05/HTPT tentang permintaan penjelasan status tanah makam Al Haddad. Dalam surat tersebut dinyatakan status tertulis tanah di Jl Dobo atas nama Gouvernement Van Nederlandch Indie dan telah diterbikan sertifikat hak pengelolaan No 1/Koja utara atas nama Perum Pelabuhan II.
Setelah ada pembicaraan dengan ahli waris, disepakati makam dan kerangka Mbah Priok dipindahkan ke TPU Semper, Jakarta Utara pada 21 Agustus 1995. Sedangkan makam lainnya atau sebanyak 28.300 kerangka juga telah dipindahkan ke TPU Semper pada tahun 1995, sebagian kerangka ada yang dibawa ke luar kota sesuai permintaan ahli waris.
Namun, pada September 1999, makam Mbah Priok dibangun kembali di lokasi bekas TPU Dobo, diikuti dengan satu bangunan liar berupa pendopo tanpa izin dari PT Pelindo II dan tidak memiliki IMB dari Dinas Pengawasan dan Penertiban (P2B) DKI Jakarta. Tentunya ini melanggar ketentuan UU No 51/Prp/ tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya.
Dengan dasar itulah, Pemprov DKI melakukan pembongkaran terhadap gapura dan pendopo itu. Alasan pembongkaran baru dilakukan sekarang karena tanah itu sudah diserahterimakan ke PT Pelindo II. Sehingga sudah menjadi tanggung jawab Pelindo II. Namun kemudian, PT Pelindo II meminta bantuan hukum kepada Pemprov DKI untuk membongkar bangunan liar tersebut, maka Pemprov DKI pun siap membantu melakukan penertiban bangunan karena dalam hal izin telah melanggar aturan yaitu tidak ada IMB.
Terkait hal tersebut, Kepala Bidang Informasi Publik Dinas Kominfo dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia, mengatakan, Pemprov DKI tidak akan membongkar makam Mbah Priok, akan tetapi hanya membongkar gapura dan pendopo yang ada di areal makam tersebut. “Sedangkan makam Mbah Priok tidak akan dibongkar dan justru akan dibuat monumen agar lebih bagus lagi dan tetap dapat dikunjungi warga. Karena kami tidak pernah melarang warga untuk mengunjungi makam tersebut,” kata Cucu. (www.google.com)
Belakangan tahun 2010, Pemprov DKI akan membongkar bangunan gapura dan pendopo yang dinilai tak ada izin mendirikan bangunannya. Namun upaya tersebut ditentang oleh seluruh pengikut Habib Zainal selaku ahli waris makam Mbah Priok tersebut.
.a). Ada pelanggaran HAM pada bentrokan di Makam Mbah Priok
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang ikut memantau bentrokkan antara petugas Satpol PP dengan warga yang mempertahankan keberadaan lahan Habib Hasan bin Muhammad al Haddad (Mbah Priok). Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4) menyimpulkan ada pelanggaran HAM.
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menyesalkan peristiwa bentrok antara Satpol PP dan warga terkait rencana penggusuran lahan makam tersebut :

Ifdhal mengatakan, tindakan kekerasan yang dilakukan Satpol PP merupakan pelanggaran HAM.
“Kami menyesali apa yang dilakukan otoritas Pemerintah Kota Jakarta Utara yang tidak mengedepankan pendekatan demokratis dan tanpa kekerasan sehingga menimbulkan korban jiwa,” ujar Ifdhal kepada para wartawan, Rabu sore.
Dikatakan Ifdhal, kasus ini sebenarnya telah ditangani Komnas HAM pada awal bulan ini atas dasar laporan seorang ahli waris lahan tersebut. Pada tanggal 9 April, Komnas juga telah mengirim surat kepada Wali Kota Jakarta Utara untuk melakukan moratorium atau penundaan rencana penggusuran atas lahan tersebut.

b). Status Makam Mbah Priok status Quo

Pasca bentrokan warga dengan aparat kepolisian di makam Mbah Priok, Presiden SBY meminta Pemprov DKI Jakarta menghentikan upaya pembongkaran makam Mbah Priok. Harus dilakukan dialog dan pembicaraan antara sejumlah pihak baru kemudian diambil sikap. “Memberi perintah agar dihentikan tindakan penertiban tempat makam di sana. Relokasi status quo setelah semuanya dapat dikelola, bicarakan secara baik dengan pemangku kepentingan,” kata SBY dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (14/4/2010). SBY meminta agar ke depannya, dalam melakukan tindakan penertiban, pihak berwenang tidak menggunakan cara kekerasan. “Pilihlah cara-cara persuasif. Cegah benturan yang bersifat fisik karena situasi panas sangat bisa menimbulkan korban,” katanya [voa-islam/hidayatullah/tvone]

c). Perspektif Sosiologi Hukum

Hukum sebagai panglima adalah sebuah jargon kosong yang diperlihatkan para aparatur penegak hukum di negara Indonesia selama ini. Terbukti munculnya tindakan-tindakan yang spontanitas dari masyarakat atas hukum yang tidak lagi memberikan perlindungan dan ketentraman terhadap masyarakat. Hukum yang seharusnya dijadikan sebagai sosial control, malah menjadi alat untuk menekan dan memaksa kehendak terhadap masyarakat oleh para penegak hukum dan peyelenggara negara Contoh misal, jika berhubungan dengan aparat pemerintah, terutama dengan pengurusan yang berkaitan dengan masalah legalitas hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kenyataan ini, sering dikeluhkan oleh warga masyarakat, misalnya: masalah pembuatan sertifikat hak milik tanah (SHM), antara tarif resmi dengan kenyataan, jumlahnya bisa berlipat-ganda. Hal ini terjadi, tidak terlepas dari situasi yang dialami penyelenggara Negara, yang pada saat ini terjebak oleh sistem yang hegomonik, yang dalam proses selanjutnya yang hemat penulis, mengumpulkan arogansi kekuasaan. Akibatnya, masyarakat menjadi diskriminasi oleh para penyelenggara negara.
Ketidak percayaan masyarakat terhadap aparatur negara tersebut disebabkan para penegak hukum telah mempermainkan moralitas, aparatur negara telah melakukan hipermoralitas. Masyarakat beranggapan bahwa yang dilakukan oleh peguasa dalam hal ini adalah para aparatur penegak hukum tidak lain hanyalah sebuah “permainan hukum” (justice game). Hukum cuma dianggap sebagai sebuah ajang “permainan bahasa” (language game).
Kecurigaan masyarakat terhadap aparat penegakan hukum tidak hanya sampai pada permainan bahasa saja, namun lebih parahnya lagi masyarakat mensinyalir bahwa adanya indikasi para penegak hukum mempermainkan “aturan main hukum” (rule of play) yang telah diketuk palu dan mendapat kekuatan hukum yang mengikat, bukan dalam rangka mencari keadilan (justice) atau kebenaran (truth), akan tepi cuma untuk menyembunyikan atau menutupi keadilan dan kebenaran yang telah disepakati bersama tersebut, demi untuk menyelamatkan kepentingan kekuasaan.
Krisis legitimasi di dalam bidang hukum ini tampak telah meluas ke berbagai lapisan masyarakat, yang selanjutnya bermuara pada meluasnya tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan masyarakat dalam mencari suatu keadilan yang diidam-idamkan oleh semua elemen bangsa. Akhirnya kemudian muncul bahasa keadilan yang ditonjolkan dikalangan masyarakat luas yang lebih dikenal dengan “bahasa kekerasan”: penjarahan, pembakaran, pelemparan, penghancuran dan pembunuhan.
Seperti yang telah terjadi, Pemerintah DKI nekat mengerahkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk mengusir penduduk yang mempertahankan makam dan lahan sekitarnya (Tempointeraktif.com, 15/04/10). Warga Koja kemudian melihat ini sebagai tindakan yang mengancam eksistensi mereka. Otomatis, mereka mempertahankan makam dan wilayah mereka dengan mati-matian. Akhirnya, tiga korban tewas jatuh dari Satpol PP. Sementara ratusan lainnya luka-luka.
Sosiologi hukum bertujuan untuk mendeskripsikan terhadap praktik-praktik hukum dan menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum di dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dan sebagainya.Disini penulis menjelaskan faktor-faktor yang melahirkan ketidak percayaan masyarakat tehadap para penegak hukum di Negara ini.
Masyarakat telah jenuh dan tidak percaya lagi dengan perlakuan para penegak hukum di Negara Indonesia yang katanya menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi. Ini terlihat dengan semakin meningkatnya pelanggaran masyarakat dewasa ini terhadap hukum. Masyarakat tidak lagi taat pada peraturan hukum, akan tapi masyarakat takut terhadap hukum. Dengan maraknya main hakim sendiri di tengah-tengah masyarakat adalah salah satu faktor dari sekian banyak penyabab ketidak percayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negara ini.
Ini gambaran yang kelam dan suram terhadap penegakan hukum di Indonesia yang diakibatkan oleh para aparatur penegak hukum itu sendiri. Masyarakat tidak lagi menutup sebelah mata dalam melihat kasus-kasus hukum yang sangat diskriminatif.
Tindak kekerasan sehingga terjadi bentrokan antara warga dan aparat di Tanjung Priok, Jakarta Utara pada hari Rabu tanggal 14 April 2010, akibat kekeliruan dalam pendekatan terhadap masyarakat. Dimana bisa dikatakan bentrokan itu merupakan akumulasi dari dampak penerapan pendekatan keamanan yang lebih dominan dalam kebijakan pembangunan.
Pola seperti itu semestinya tidak dipakai lagi oleh Pihak Pemerintah Daerah khususnya pihak Satpol PP, dan lebih mengedepankan pendekatan melalui diplomasi. Selama ini kita perhatikan banyak kasus penggusuran yang menimbulkan perlawanan akibat kekeliruan dalam pendekatan. Eksekusi yang terjadi hanya bagian kecil dari pendekatan tersebut, sehingga yang lebih utama baiknya adalah diplomasi dengan masyarakat, baik itu menyangkut kebijakan yang berpihak kepada mereka, dan tata ruang, maupun diplomasi melalui tokoh agama serta tokoh masyarakat.
Sekarang sudah saatnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Polri mengkaji ulang praktik penegakan hukum dengan cara seperti itu (pendekatan eksekusi tanpa diplomasi terlebih dahulu). Sebab, apabila dalam penegakan hukum aparat keliru dalam melangkah, akan menyulut kemarahan masyarakat.
Sedangkan dari pihak masyarakat, saat ini sedang mengalami frustasi, sehingga sangat berpotensi terprovokasi. Bentrok seperti di Tanjung Priok bisa terjadi di mana pun apabila tidak ada koreksi dan perbaikan dari kedua pihak.
Kita berharap kejadian tersebut menjadi akhir dari pendekatan keamanan yang dilakukan aparat, karena jika masih dilakukan cara seperti itu, kemungkinan akan kembali jatuh korban di kalangan masyarakat, Satpol PP, Polri maupun pihak lain.
Masyarakat saat ini mudah marah, karena ada gejala ruang dialog mereka semakin sempit. Adanya pengelompokan dan degradasi sosial di kota besar seperti di Jakarta, rentan terjadi konflik dan tindak kekerasan, terutama terkait dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan.
d).Kasus hukum makam mbah priok berakhir damai
Pada tanggal 15 April 2010 pukul 14.30, Pemprov DKI menggelar mediasi untuk menyelesaikan kasus makam Mbah Priok. Mediasi dipimpin oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, dengan dihadiri oleh para ahli waris makam Mbah Priok beserta beberapa kuasa hukum dan Dirut PT Pelindo RJ Lino. Kapolda Metro Jaya Irjen Wahyono. Selain itu, hadir pula dari DPD Provinsi DKI Bapak AM. Fatwa, MUI, Komnas HAM, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
Dari mediasi tersebut, melahirkan 9 (Sembilan) poin kesepakatan yang harus dilaksnakan oleh pihak bertikai. Diharapkan, tidak ada lagi konflik atau bentrok fisik paska dikeluarkannya sembilan kesepakatan itu. “Mediasi ini menghasilkan 9 kesepakatan bersama yang diharapkan bisa membawa berkah dan kedamaian bagi Jakarta,” kata Prijanto, Wakil Gubernur DKI Jakarta, saat menjadi mediator antara ahli waris dan PT Pelindo, di Balaikota DKI.
• Sembilan kesepakatan itu adalah:
1. Makam Mbah Priok tidak akan dipindah ;
2. Pendopo majelis taklim dan gapura makam akan digeser posisinya agar tidak mengganggu aktivitas pelabuhan serta terminal yang berfungsi sesuai standar internasional. Terkait posisi gapura dan pendopo majelis akan digeser ke sebelah mana, akan diserahkan kepada ahli waris dan PT Pelindo serta para tokoh agama ;
3. Sisa tanah yang tengah dalam sengketa akan terus dibicarakan oleh kedua belah pihak hingga ditemukan solusinya ;
4. Untuk peristiwa bentrokan massal antara Satpol PP dan warga akan diserahkan pada hukum yang berlaku ;
5. Perlunya mengajak serta tokoh mayarakat dan tokoh agama untuk penyelesaian masalah ;
6. Pihak PT Pelindo menyetujui untuk membuat MoU (perjanjian) hasil pembicaraan lebih lanjut dengan ahli waris ;
7. Secara administrasi PT Pelindo II akan berkomunikasi dengan pihak ahli waris melalui tembusan Komisi A DPRD DKI Jakarta ;
8. Pihak PT Pelindo dan Pemprov DKI akan memperhatikan orang-orang yang menjadi korban dalam bentrokan. Yakni biaya berobat di rumah sakit dan juga berobat jalan para korban bentrokan akan ditanggung oleh Pemprov DKI ;
9. Kesepakatan terakhir atau kesembilan adalah, pembicaraan antara ahli waris dan PT.Pelindo akan dilangsungkan di Komnas HAM pada Jumat tanggal 16/4/2010.
Ahli waris Habib Hasan Muhammad Al Haddad alias Mbah Priok yakni Habib Alwi Al Haddad, mengaku puas dengan hasil pertemuan ini. Ia berharap, pihak Pelindo tidak akan mengingkari sembilan kesepakatan yang telah dibacakan oleh Wagub Prijanto itu. Sebab selama ini, pihak ahli waris sudah merasa lelah dan tidak menginginkan lagi adanya pertikaian. “Secara keseluruhan saya puas dengan hasil pertemuan ini,” ucap Habib Alwi al Haddad.
Dirut PT Pelindo II, RJ Lino, menyetujui hasil pertemuan mediasi ini dan berjanji akan mematuhi seluruh kesepakatan. Salah satu kesepakatannya adalah untuk merenovasi dan memindahkan pendopo bersama-sama ahli waris. PT. Pelindo menyepakati hasil pertemuan, termasuk merenovasi pendopo dan juga akan dibuatkan Underground Tunnel serta tempat parkir dijalan Jampea. Juga akan membangun pagar di sekelilingnya agar tidak mengganggu kegiatan pelabuhan.
BAB III
PENUTUP


A.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan :
Tragedi Priok II tersebut benar-benar peristiwa yang memilukan dan sekaligus memalukan. Memilukan karena kericuhan sosial terjadi akibat ego arogansi aparatur penegak sipil Satpol PP yang lebih mengedepankan pendekatan represif dibanding komunikasi persuasif. Bentrokan antara personil Satpol PP dan warga pembela situs makam Mbah Priok yang di back up ormas sosial keagamaan yang memiliki ikatan emosional kultural itu menjadi fokus keprihatinan skala nasional.
Yang menyedihkan, setelah terjadi bentrokan muncul berbagai perang opini dan ‘’argumen” yang justru tidak menjadi penyejuk realitas konflik. Wagub DKI Jakarta Prijanto misalnya, mengatakan ada provokator dan ormas yang mendorong warga melawan upaya penertiban makam tersebut. Sementara arus opini mayoritas menyebutkan tindakan personel Satpol PP melanggar prinsip HAM, tidak bijak, dan jauh dari watak humanis.

Dalam perspektif teori transformasi konflik, tragedi tersebut bisa dianalisis dalam berbagai paradigma pemikiran:

Pertama, tragedi tersebut adalah bagian dari spiral kekerasan sosial yang telah melembaga dalam kultur penegakan hukum dan kuasa aparatur negara. Spiral kekerasan yang mengkontaminasi perilaku balasan dari masyarakat yang selama
ini menjadi objek kekerasan personel Satpol PP.Secara sosiologis warga Priok adalah masyarakat pantai yang memiliki karakter sosial yang lugas dan keras. Ketika menerima praktik kekerasan maka mereka justru akan bangkit dalam tindakan yang sama.

Kedua, tragedi itu merupakan mata rantai struktur paralel kekerasan yang lazim terjadi dalam implementasi dari domain penegakan aturan daerah dan ketertiban umum. Berbeda dari kekerasan terhadap elemen masyarakat yang tidak terorganisasi semacam PKL tidak resmi, pengamen, pemukim liar komunitas di Priok terorganisasi dalam kultur keagamaan militan. Para aktor yang melawan arogansi Satpol PP adalah komunitas ‘’santri” yang selama ini beraktivitas ritual-religi di lingkungan makam Mbah Priok. Mereka terusik kehormatan spiritualnya oleh rencana penggusuran makam figur yang mereka hormati.

Ketiga, kericuhan sosial tersebut adalah bukti kegagalan negara dalam merombak karakter psikologis aparaturnya dalam alam demokrasi. Institusi Satpol PP di era demokrasi yang seharusnya lebih bisa memainkan peran sebagai penegak aturan sekaligus sebagai alat komunikasi masyarakat, menempatkan diri sebagai kekuatan antirakyat.

Selama ini memang ada keprihatinan atas apa yang sering dilakukan oleh ”polisi perda” di banyak tempat. Terutama ketika mereka berhadapan dengan masyarakat sipil. Satpol PP alih-alih memainkan peran mediasi, negoisasi prakonflik untuk menjelaskan tugas dan tujuan penertiban. Yang terjadi peran eksekutor yang lebih dikedepankan.

Pemda DKI Jakarta agaknya terlalu yakin dengan upaya penggusuran paksa terhadap areal disekitar situs makam Mbah Priok, tanpa mengindahkan rasa idiologis dan sosiologis masyarakat yang sampai saat ini tetap fanatik bahwa makam Mbah Priok adalah simbol tokoh penyebar agama Islam yang harus dihormati dan tidak boleh diganggu atas dasar apapun.
Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, sedikit sekali anggota Majelis Hakim yang memutuskan perkara hukum di pengadilan mau mempertimbangkan azas hukum yang berkembang di tengah masyarakat. Padahal putusan hukum yang tidak mempertimbangkan sisi sosiologis, filosofis, historis, psikoligis masyarakat dan hanya mementingkan segi penerapan hukum warisan Hindia Belanda saja, jelas akan mengoyak rasa keadilan masyarakat.
Benar apa kata Presiden SBY, hendaknya aparat hukum dan pemerintah lebih mengedepankan pendekatan persuasif dengan mempertimbangan rasa keadilan sosial, psikoligis dan filosofis rakyat dalam menangani setiap masalah yang melibatkan kepentingan publik. Kebijakan yang hanya didasarkan atas tuntutan penegakan hukum semata, apalagi dengan cara pendekatan kekerasan, justru akan menimbulkan kerugian materiil dan imateril yang jauh lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Seandainya sejak awal, Pemprop DKI Jakarta dan Pelindo memfasilitasi pembangunan situs makam Mbah Priuk sebagai situs budaya penyebar agama Islam di Jakarta Utara, tentu persoalan penyelesaian hukumhya tidak akan separah saat ini.

B.Saran

Ada beberapa instrospeksi yang bisa dipetik dari kejadian dari tragedi kasus hukum pembongkaran makam Mbah Priok .

Pertama; sudah waktunya ada perubahan kultur kekerasan yang lazim dilakukan aparatur penegak hukum ketika bersinggungan dengan aspirasi serta kepentingan masyarakat. Kultur kekerasan hanya akan beranak-pinak praktik kekerasan yang sama, bahkan mungkin lebih keras. Perlu ada ruang edukasi transformasi konflik di jajaran penegak hukum agar mereka bisa memahami anatomi konflik sehingga tidak terjebak menjadi aktor penyulut konflik laten-manifes.

Kedua; menagih keseriusan pemerintah pusat-daerah untuk ‘’tidak asal’’ mementingkan syahwat ekonomi dan mengabaikan niat baik konservasi cagar budaya. Kasus itu tidak terjadi bila pemerintah daerah menghormati kawasan situs budaya. Makam Mbah Priok bagaimana pun adalah penanda peradaban Jakarta.

Ketiga; perlunya kesadaran bersama antara komponen ”pemilik” kepentingan terhadap cagar budaya yang memiliki ikatan religio-sosial, dengan pemerintah untuk dalam satu pemahaman mengedepankan dialog yang mutual partnership, ketika terjadi isu penggusuran, dan sebagainya. Sehingga tidak ada politisasi ataupun mobilisasi kepentingan dari kelompok luar.

Tidak ada jeleknya, Satpol PP Jakarta belajar dari Satpol PP di daerah misalnya di Solo yang kini telah memiliki kesadaran ”ideologis” baru. Mereka bekerja untuk penegakan hukum dan ketertiban dengan bersama masyarakat. Watak humanis, toleran dipadukan dengan kebijakan Pemkot Solo yang mencoba nguwongke (memartabatkan) masyarakat marginal.

Setali dengan Dosen Sosiologi Unsoed, Sulyana Daldan, “coba jika yang datang pada waktu itu adalah para pengambil kebijakan dengan benar-benar memosisikan sebagai pelayan warga, berkunjung untuk berdialog dengan warga, mungkin sambutan warga pun akan lain” (Kompas, 16/04/10). Ya, dan tidak perlu menunggu jatuhnya korban untuk memutuskan sikap/kebijakan.



Daftar Pustaka

Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta.
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
-----------. Filsafat Hukum, Cet ke 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta.
Palu (ANTARA News), www. Google
Kompas Online, 16 April 2010.
Jakarta (voa-islam.com).
voa-islam/hidayatullah/tvone
Tempointeraktif.com, 15/04/10.
Powered By Blogger