Jumat, 22 Oktober 2010

KASUS HUKUM PEMBONGKARAN MAKAM MBAH PRIOK DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

Oleh :
J.A. Mentang
NPM : 71010139



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 14 April 2010. terjadi bentrok antara warga Koja Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan Satpol PP. Permasalahannya, oleh karena warga setempat tak terima makam Mabah Priok akan di eksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas dasar pemohon PT.Pelindo . Meski secara hukum, PT Pelindo terhitung sah melakukan hal tersebut.Warga naik pitam karena kasus akan digusurnya makam Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhamad al Hadad. Ia seorang suci penyiar Islam pertama di Betawi, yang sudah dimakamkan di sana sejak tahun 1756 (Kompas, 16/04/10).

Konflik tak terhindarkan, korban jiwa berjatuhan. Tiga tewas semuanya anggota Satpol PP. Sementara, ratusan lain luka-luka. Massa juga membakar sejumlah mobil polisi dan menjarah. Peristiwa itu berlangsung selama dua hari (14-15 April 2010). Dan seluruh media meliputnya.

Sejak pagi ratusan orang dua keyakinan saling berhadap-hadapan. Satu berkeyakinan hukum mesti ditegakkan, sementara yang lain berkeyakinan ini adalah tanah warisan, tanah keramat dan penuh sejarah, mesti dipertahankan hingga tetes darah penghabisan. Sampai nyawa pun taruhannya, ini terlihat dari perlengkapan yang dibawah oleh tiap-tiap orang di sana. Ada tombak/bambu runcing, ada kelewang, ada golok, ada batu-batuan, ada pula senjata api rakitan. Sementara dari pihak yang berkeyakinan hukum, mereka bersenjata lengkap tameng non senjata api apalagi sajam (baca:senjata tajam), hanya pentungan saja.
Mulai dari saling dorong hingga saling terjang. Mulai dari saling pukul sampai saling tusuk dan tebas. Korban luka-luka berjatuhan. Semua itu anak-anak bangsa yang konon kabarnya penuh dengan keramahtamahan, yang katanya berbudaya luhur, yang menurut nenek moyang, bangsa ini bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Tapi apa yang terjadi di kawasan Tanjung Priok, sangat jauh dari kabar-kabar yang teramat mulia itu. Entah mana yang mesti dipercaya. Saat institusi pemerintah pun terkesan kabur di mata masyarakat. Saat aparat hukum bisa dibayar, dan keadilan menjadi benar-benar buta, tanpa daya lihat bahkan di kegelapan sekalipun. Saat sejarah dan legenda bercampur jadi satu bak gado-gado, sehingga masyarakat pun terkesan terdorong ke arah takhayul semata. Tak ada yang tahu pasti, apakah itu benar dan apakah itu salah. Semuanya abu-abu.
Sekalipun akhirnya kompromi didapat, perbincangan dilakukan. Duduk di meja yang sama untuk bicara solusi yang baik. Tapi itu semua telah terjadi setelah ada simbah darah di sana, setelah sesama anak bangsa menebar kebencian satu sama lain. Kompromi damai pun digelar. Apakah mesti ada korban dulu baru akal sehat bermain…? Mengapa emosi yang mesti menjadi panglima tanpa nurani..?
Kompromi yang bisa jadi jalan tengah pun seolah diragukan sejumlah pihak yang tetap memegang teguh prinsip negara hukum. Mengapa hukum bisa dikompromikan..? Di lain pihak, hukum pun dipertanyakan, apakah benar-benar sahih atau akal-akalan semata?
Keputusan pembongkaran sudah diputus di pengadilan (secara hukum), bila kurang puas, tentunya harus dilawan dengan hukum pula, mengajukan upaya hukum dengan cara keberatan ke pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi.
B.Permasalahan
Dari rumusan masalah tersebut di atas dapat ditentukan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana peran ilmu sosiologi hukum dalam rangka penyelesaian sengketa pembongkaran makam Mbah Priok ? Pada makalah ini juga penulis akan menelusuri mengapa sehingga timbulnya Kasus Hukum Pembongkaran Makam Mbah Priok dilihat dari aspek sosiologi hukum ?
C.Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas mata Kuliah Sosiologi Hukum peserta Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta , Angkatan ke - IV Tahun 2010 Kelas Palu.


BAB II
PEMBAHASAN

1.Sejarah Makam Mbah Priok
Nama Mbah Priok tiba-tiba saja menjadi pembicaraan setelah terjadi bentrokan hebat antara Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan warga. Siapa sebenarnya Mbah Priok? Mbah Priok adalah julukan untuk Habib Hasan al-Haddad, pendakwah agama Islam yang hidup sekitar abad ke-18. Lelaki ini berasal dari Timur Tengah ini dan diperkirakan meninggal pada 1756 dan dimakamkan di Pulau Pondok Dayung.
Pada 1930, kolonial Belanda memindahkan makamnya ke Tempat Pemakaman Umum Dobo di Koja. Lalu pada 1987, pemerintah memindahkan kompleks pemakaman Dobo ke TPU Budi Dharma di Cilincing. Satu versi menyebutkan, kerangka jenazah Mbah Priok dipindah pada 1997. Namun, setelah dua tahun dipindah, ahli waris justru membangun kompleks makam di sana. Padahal lahan itu milik PT Pelindo. (Jakarta (voa-islam.com).
Versi lain, menurut arkeolog Candrian Attahiyat seperti dikutip Berita Jakarta, memang ada pemindahan makam secara massal dari Dobo ke Cilincing pada 1994. "Saat makam lain dipindah, makam Mbah Priok dipertahankan," kata Candrian.
Ahli waris Habib Hasan al-Haddad mengklaim lahan pemakaman itu adalah milik keluarga berdasarkan verklaring nomor 1268/RB pada 19 September 1934. Pada 2001, ahli waris menggugat PT Pelindo II melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tapi pengadilan tidak menerima gugatan tersebut. Ahli waris tidak mengajukan banding untuk melawan keputusan itu.
Mereka tetap mempertahanan dua bangunan yang ada di lahan seluas 5 hektare itu. Satu bangunan berukuran 10 x 8 meter digunakan Habib Ali Al Idrus, ahli waris makam, sebagai tempat tinggalnya bersama keluarga dan sekitar 20 orang santrinya. Sementara satu bangunan lagi, berukuran 8 x 6 adalah tempat makam Habib Hasan.
Meski kalah dalam banding, ritual di makam itu tetap terjadi. Bila ada haul, ada sekitar seribuan orang berkumpul dan mengaji bersama di areal makam seluas seluas 5 hektare. Haul itu, tentu saja mendatangkan rezeki bagi penduduk sekitar. Mereka berjualan mulai dari kembang, peci, mukena, makanan sampai aneka baju.
Sengketa tanah ini makin memuncak setelah pemilik tanah PT Pelindo II atau Jakarta Indonesia Container Terminal (JICT) mencoba menggusur makam ini. Pemerintah Jakarta Utara juga ikut mengeluarkan surat perintah bongkar untuk membongkar makam itu. Akhir tahun lalu, misalnya, mereka sudah menyegel pagar makam itu. Toh, para peziarah tak surut. Ribuan orang tetap berziarah di sana.Meski pemerintah Jakarta Utara juga mengeluarkan surat perintah bongkar untuk membongkar makam itu, tapi para peziarah tak surut. Ribuan orang tetap berziarah di sana.

2. Pengertian Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.

Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya. Soerjono Soekanto/Satjipto Rahardjo membuat rumusan yang sama tentang sosiologi hukum yakni sosiologi hukum mempelajari hubungan timbal balik antar hukum dan masyarakat.

Soerjono Soekanto, Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lannya.

Menurut Satjipto Rahardjo, Sosiologi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.
(Prof.DR.H. Zainuddin Ali,MA, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 1)

Sedangkan Prof. M. Abduh, kurang menyetujui pemakaian istilah; Hubungan—karena hukum bukan manusia yang mempunyai hubungan cinta. Akan lebih tepat jika dikatakan sosiologi hukum adalah bias/refleksi hukum dalam masyarakat dan sebaliknya bias/refleksi masyarakat ke dalam hukum.

Sosiologi hukum memiliki kegunaan antara lain, memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial; penguasaan konsep-konsep sosial hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, sarana mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu; sosiologi hukum memberikan kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi-evaluasi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat.
Karakteristik kajian sosiologi hukum, adalah fenomena hukum dalam masyarakat dalam mewujudkan : Deskripsi, Penjelasan, Pengungkapan (revealing) dan Prediksi.
Kajian Sosiologi Hukum sebagai berikut :
Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu praktik – praktik hukum didalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi , sebab-sebabnya, factor – factor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dan sebagainya.Hal itu memang asing kedengarannya bagi studi hukum normatif, Studi hukum normatif kajiannya bersifat perspektif, hanya berkisar pada “ apa hukumnya” dan “bagaimana menerapkannya”.Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Max Weber yang menamakan cara pendekatan demikian itu sebagai suatu Interpretative understanding, yaitu cara menjelaskan sebab, perkembangan, serta efek dari tingkah laku sosial.Dengan demikian, mempelajari sosiologi hukum adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum sehingga mampu mengungkapkannya. Tingakah laku dimaksud mempunyai dua segi yaitu “Luar” dan “Dalam”.Oleh karena itu sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang bersifat internal, yaitu yang meliputi motif-motif tingkah laku seseorang apabila disebut tingkah laku (Hukum), maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai dengan hukum dan yang menyimpang.Kedua – duanya diungkapkan sama sebagai objek pengamatan penyelidikan ilmu ini. (Prof.DR.H. Zainuddin Ali,MA, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 8 & 9)

3. Pengertian Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
 Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
 Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
 Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
4. Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu : Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
1. Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
2. mengenai masalah status tanah ;
3. masalah kepemilikan ;
4. masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan.
Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
5.Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
1. Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
2. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
3. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
4. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
6.Sertifikat
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1. Sistem Positif, menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif. menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
7. Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing ;
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah ;
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
8. Kasus Hukum Pembongkaran Makam Mbah Priok
Konflik kepemilikan lahan mulai mencuat di tahun 1997, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membongkar kompleks Makam Mbah Priok untuk perluasan Pelabuhan, kompleks makam itu kini mulai dipenuhi makam penduduk sekitar. Meski makam warga akhirnya dipindahkan ke daerah Semper Jakarta Utara, ahli Waris Mbah Priok menolak rencana itu. Hingga kini masih ada 13 makam keluarga dinaungi rumah permanen ala Joglo dan biasa di ziarahi penduduk seantero Jabodetabek.

Mulanya, makam asli Mbah Priok ada di kawasan Pondok Dayung. Namun pada suatu saat, makam ini dipindahkan ke lokasi yang ada sekarang, di Jl TPU Dobo, Koja. Ironisnya, semakin berkembangnya kemajuan zaman, di kawasan pemakaman tersebut tumbuh kawasan pelabuhan terpadu Tangjungpriok. Hingga akhirnya, makam ulama besar ini posisinya berdampingan dengan terminal peti kemas (TPK) Koja dan pemukiman warga.Masyarakat pun tak mempedulikannya, setiap saat selalu ziarah dan takziah di makam tersebut. Sholawat dan salam, takbir, tahmid senantiasa berkumandang di tempat tersebut. Bahkan setiap Kamis malam, umat muslim selalu berzikir, berdoa bersama, dan menggelar pengajian secara rutin. Umat muslim yang datang bukan hanya warga ibu kota, akan tetapi juga berasal dari berbagai pelosok di negeri ini. Biasanya kegiatan tersebut selalu diselingi dengan acara makan bersama, yang disajikan oleh para ahli waris makam tersebut.

Kodrat berdampingan dengan pelabuhan ini pula, nampaknya yang menjadi pemicu terjadinya konflik. Apalagi PT Pelindo mengklaim bahwa sebagian lahan yang digunakan dengan ahli waris adalah miliknya, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.
Sengketa kepemilikan tanah ini pun diajukan gugatan oleh Habib Muhamman bin Achmad selaku ahli wais makam Mbah Priok kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan nomor perkara 245/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Ut. Selain itu juga telah dikeluarkan putusan PN Jakarta Utara pada 5 Juni 2001 dengan amar putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima. Pertimbangan hukumnya adalah kuasa hukum penggugat tidak sah, gugatan penggugat tidak jelas dan kurang pihak.
Mendengar hal itu, ahli waris Mbah Priok beserta pengikutnya mengajukan protes. Mereka mengklaim bidang tanah ini milik ahli waris dan bukan milik PT Pelindo II. Klaim dinyatakan berdasarkan Eigendom Verponding No.4341 dan No.1780. Namun setelah dilakukan penelitian kembali oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara, tanah tersebut dinyatakan telah tertulis sebagai milik PT Pelindo II.
Kantor Pertanahan Jakarta Utara telah mengeluarkan surat tertanggal 6 Februari No 182/09.05/HTPT tentang permintaan penjelasan status tanah makam Al Haddad. Dalam surat tersebut dinyatakan status tertulis tanah di Jl Dobo atas nama Gouvernement Van Nederlandch Indie dan telah diterbikan sertifikat hak pengelolaan No 1/Koja utara atas nama Perum Pelabuhan II.
Setelah ada pembicaraan dengan ahli waris, disepakati makam dan kerangka Mbah Priok dipindahkan ke TPU Semper, Jakarta Utara pada 21 Agustus 1995. Sedangkan makam lainnya atau sebanyak 28.300 kerangka juga telah dipindahkan ke TPU Semper pada tahun 1995, sebagian kerangka ada yang dibawa ke luar kota sesuai permintaan ahli waris.
Namun, pada September 1999, makam Mbah Priok dibangun kembali di lokasi bekas TPU Dobo, diikuti dengan satu bangunan liar berupa pendopo tanpa izin dari PT Pelindo II dan tidak memiliki IMB dari Dinas Pengawasan dan Penertiban (P2B) DKI Jakarta. Tentunya ini melanggar ketentuan UU No 51/Prp/ tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya.
Dengan dasar itulah, Pemprov DKI melakukan pembongkaran terhadap gapura dan pendopo itu. Alasan pembongkaran baru dilakukan sekarang karena tanah itu sudah diserahterimakan ke PT Pelindo II. Sehingga sudah menjadi tanggung jawab Pelindo II. Namun kemudian, PT Pelindo II meminta bantuan hukum kepada Pemprov DKI untuk membongkar bangunan liar tersebut, maka Pemprov DKI pun siap membantu melakukan penertiban bangunan karena dalam hal izin telah melanggar aturan yaitu tidak ada IMB.
Terkait hal tersebut, Kepala Bidang Informasi Publik Dinas Kominfo dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia, mengatakan, Pemprov DKI tidak akan membongkar makam Mbah Priok, akan tetapi hanya membongkar gapura dan pendopo yang ada di areal makam tersebut. “Sedangkan makam Mbah Priok tidak akan dibongkar dan justru akan dibuat monumen agar lebih bagus lagi dan tetap dapat dikunjungi warga. Karena kami tidak pernah melarang warga untuk mengunjungi makam tersebut,” kata Cucu. (www.google.com)
Belakangan tahun 2010, Pemprov DKI akan membongkar bangunan gapura dan pendopo yang dinilai tak ada izin mendirikan bangunannya. Namun upaya tersebut ditentang oleh seluruh pengikut Habib Zainal selaku ahli waris makam Mbah Priok tersebut.
.a). Ada pelanggaran HAM pada bentrokan di Makam Mbah Priok
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang ikut memantau bentrokkan antara petugas Satpol PP dengan warga yang mempertahankan keberadaan lahan Habib Hasan bin Muhammad al Haddad (Mbah Priok). Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4) menyimpulkan ada pelanggaran HAM.
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menyesalkan peristiwa bentrok antara Satpol PP dan warga terkait rencana penggusuran lahan makam tersebut :

Ifdhal mengatakan, tindakan kekerasan yang dilakukan Satpol PP merupakan pelanggaran HAM.
“Kami menyesali apa yang dilakukan otoritas Pemerintah Kota Jakarta Utara yang tidak mengedepankan pendekatan demokratis dan tanpa kekerasan sehingga menimbulkan korban jiwa,” ujar Ifdhal kepada para wartawan, Rabu sore.
Dikatakan Ifdhal, kasus ini sebenarnya telah ditangani Komnas HAM pada awal bulan ini atas dasar laporan seorang ahli waris lahan tersebut. Pada tanggal 9 April, Komnas juga telah mengirim surat kepada Wali Kota Jakarta Utara untuk melakukan moratorium atau penundaan rencana penggusuran atas lahan tersebut.

b). Status Makam Mbah Priok status Quo

Pasca bentrokan warga dengan aparat kepolisian di makam Mbah Priok, Presiden SBY meminta Pemprov DKI Jakarta menghentikan upaya pembongkaran makam Mbah Priok. Harus dilakukan dialog dan pembicaraan antara sejumlah pihak baru kemudian diambil sikap. “Memberi perintah agar dihentikan tindakan penertiban tempat makam di sana. Relokasi status quo setelah semuanya dapat dikelola, bicarakan secara baik dengan pemangku kepentingan,” kata SBY dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (14/4/2010). SBY meminta agar ke depannya, dalam melakukan tindakan penertiban, pihak berwenang tidak menggunakan cara kekerasan. “Pilihlah cara-cara persuasif. Cegah benturan yang bersifat fisik karena situasi panas sangat bisa menimbulkan korban,” katanya [voa-islam/hidayatullah/tvone]

c). Perspektif Sosiologi Hukum

Hukum sebagai panglima adalah sebuah jargon kosong yang diperlihatkan para aparatur penegak hukum di negara Indonesia selama ini. Terbukti munculnya tindakan-tindakan yang spontanitas dari masyarakat atas hukum yang tidak lagi memberikan perlindungan dan ketentraman terhadap masyarakat. Hukum yang seharusnya dijadikan sebagai sosial control, malah menjadi alat untuk menekan dan memaksa kehendak terhadap masyarakat oleh para penegak hukum dan peyelenggara negara Contoh misal, jika berhubungan dengan aparat pemerintah, terutama dengan pengurusan yang berkaitan dengan masalah legalitas hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kenyataan ini, sering dikeluhkan oleh warga masyarakat, misalnya: masalah pembuatan sertifikat hak milik tanah (SHM), antara tarif resmi dengan kenyataan, jumlahnya bisa berlipat-ganda. Hal ini terjadi, tidak terlepas dari situasi yang dialami penyelenggara Negara, yang pada saat ini terjebak oleh sistem yang hegomonik, yang dalam proses selanjutnya yang hemat penulis, mengumpulkan arogansi kekuasaan. Akibatnya, masyarakat menjadi diskriminasi oleh para penyelenggara negara.
Ketidak percayaan masyarakat terhadap aparatur negara tersebut disebabkan para penegak hukum telah mempermainkan moralitas, aparatur negara telah melakukan hipermoralitas. Masyarakat beranggapan bahwa yang dilakukan oleh peguasa dalam hal ini adalah para aparatur penegak hukum tidak lain hanyalah sebuah “permainan hukum” (justice game). Hukum cuma dianggap sebagai sebuah ajang “permainan bahasa” (language game).
Kecurigaan masyarakat terhadap aparat penegakan hukum tidak hanya sampai pada permainan bahasa saja, namun lebih parahnya lagi masyarakat mensinyalir bahwa adanya indikasi para penegak hukum mempermainkan “aturan main hukum” (rule of play) yang telah diketuk palu dan mendapat kekuatan hukum yang mengikat, bukan dalam rangka mencari keadilan (justice) atau kebenaran (truth), akan tepi cuma untuk menyembunyikan atau menutupi keadilan dan kebenaran yang telah disepakati bersama tersebut, demi untuk menyelamatkan kepentingan kekuasaan.
Krisis legitimasi di dalam bidang hukum ini tampak telah meluas ke berbagai lapisan masyarakat, yang selanjutnya bermuara pada meluasnya tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan masyarakat dalam mencari suatu keadilan yang diidam-idamkan oleh semua elemen bangsa. Akhirnya kemudian muncul bahasa keadilan yang ditonjolkan dikalangan masyarakat luas yang lebih dikenal dengan “bahasa kekerasan”: penjarahan, pembakaran, pelemparan, penghancuran dan pembunuhan.
Seperti yang telah terjadi, Pemerintah DKI nekat mengerahkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk mengusir penduduk yang mempertahankan makam dan lahan sekitarnya (Tempointeraktif.com, 15/04/10). Warga Koja kemudian melihat ini sebagai tindakan yang mengancam eksistensi mereka. Otomatis, mereka mempertahankan makam dan wilayah mereka dengan mati-matian. Akhirnya, tiga korban tewas jatuh dari Satpol PP. Sementara ratusan lainnya luka-luka.
Sosiologi hukum bertujuan untuk mendeskripsikan terhadap praktik-praktik hukum dan menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum di dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dan sebagainya.Disini penulis menjelaskan faktor-faktor yang melahirkan ketidak percayaan masyarakat tehadap para penegak hukum di Negara ini.
Masyarakat telah jenuh dan tidak percaya lagi dengan perlakuan para penegak hukum di Negara Indonesia yang katanya menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi. Ini terlihat dengan semakin meningkatnya pelanggaran masyarakat dewasa ini terhadap hukum. Masyarakat tidak lagi taat pada peraturan hukum, akan tapi masyarakat takut terhadap hukum. Dengan maraknya main hakim sendiri di tengah-tengah masyarakat adalah salah satu faktor dari sekian banyak penyabab ketidak percayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negara ini.
Ini gambaran yang kelam dan suram terhadap penegakan hukum di Indonesia yang diakibatkan oleh para aparatur penegak hukum itu sendiri. Masyarakat tidak lagi menutup sebelah mata dalam melihat kasus-kasus hukum yang sangat diskriminatif.
Tindak kekerasan sehingga terjadi bentrokan antara warga dan aparat di Tanjung Priok, Jakarta Utara pada hari Rabu tanggal 14 April 2010, akibat kekeliruan dalam pendekatan terhadap masyarakat. Dimana bisa dikatakan bentrokan itu merupakan akumulasi dari dampak penerapan pendekatan keamanan yang lebih dominan dalam kebijakan pembangunan.
Pola seperti itu semestinya tidak dipakai lagi oleh Pihak Pemerintah Daerah khususnya pihak Satpol PP, dan lebih mengedepankan pendekatan melalui diplomasi. Selama ini kita perhatikan banyak kasus penggusuran yang menimbulkan perlawanan akibat kekeliruan dalam pendekatan. Eksekusi yang terjadi hanya bagian kecil dari pendekatan tersebut, sehingga yang lebih utama baiknya adalah diplomasi dengan masyarakat, baik itu menyangkut kebijakan yang berpihak kepada mereka, dan tata ruang, maupun diplomasi melalui tokoh agama serta tokoh masyarakat.
Sekarang sudah saatnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Polri mengkaji ulang praktik penegakan hukum dengan cara seperti itu (pendekatan eksekusi tanpa diplomasi terlebih dahulu). Sebab, apabila dalam penegakan hukum aparat keliru dalam melangkah, akan menyulut kemarahan masyarakat.
Sedangkan dari pihak masyarakat, saat ini sedang mengalami frustasi, sehingga sangat berpotensi terprovokasi. Bentrok seperti di Tanjung Priok bisa terjadi di mana pun apabila tidak ada koreksi dan perbaikan dari kedua pihak.
Kita berharap kejadian tersebut menjadi akhir dari pendekatan keamanan yang dilakukan aparat, karena jika masih dilakukan cara seperti itu, kemungkinan akan kembali jatuh korban di kalangan masyarakat, Satpol PP, Polri maupun pihak lain.
Masyarakat saat ini mudah marah, karena ada gejala ruang dialog mereka semakin sempit. Adanya pengelompokan dan degradasi sosial di kota besar seperti di Jakarta, rentan terjadi konflik dan tindak kekerasan, terutama terkait dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan.
d).Kasus hukum makam mbah priok berakhir damai
Pada tanggal 15 April 2010 pukul 14.30, Pemprov DKI menggelar mediasi untuk menyelesaikan kasus makam Mbah Priok. Mediasi dipimpin oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, dengan dihadiri oleh para ahli waris makam Mbah Priok beserta beberapa kuasa hukum dan Dirut PT Pelindo RJ Lino. Kapolda Metro Jaya Irjen Wahyono. Selain itu, hadir pula dari DPD Provinsi DKI Bapak AM. Fatwa, MUI, Komnas HAM, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
Dari mediasi tersebut, melahirkan 9 (Sembilan) poin kesepakatan yang harus dilaksnakan oleh pihak bertikai. Diharapkan, tidak ada lagi konflik atau bentrok fisik paska dikeluarkannya sembilan kesepakatan itu. “Mediasi ini menghasilkan 9 kesepakatan bersama yang diharapkan bisa membawa berkah dan kedamaian bagi Jakarta,” kata Prijanto, Wakil Gubernur DKI Jakarta, saat menjadi mediator antara ahli waris dan PT Pelindo, di Balaikota DKI.
• Sembilan kesepakatan itu adalah:
1. Makam Mbah Priok tidak akan dipindah ;
2. Pendopo majelis taklim dan gapura makam akan digeser posisinya agar tidak mengganggu aktivitas pelabuhan serta terminal yang berfungsi sesuai standar internasional. Terkait posisi gapura dan pendopo majelis akan digeser ke sebelah mana, akan diserahkan kepada ahli waris dan PT Pelindo serta para tokoh agama ;
3. Sisa tanah yang tengah dalam sengketa akan terus dibicarakan oleh kedua belah pihak hingga ditemukan solusinya ;
4. Untuk peristiwa bentrokan massal antara Satpol PP dan warga akan diserahkan pada hukum yang berlaku ;
5. Perlunya mengajak serta tokoh mayarakat dan tokoh agama untuk penyelesaian masalah ;
6. Pihak PT Pelindo menyetujui untuk membuat MoU (perjanjian) hasil pembicaraan lebih lanjut dengan ahli waris ;
7. Secara administrasi PT Pelindo II akan berkomunikasi dengan pihak ahli waris melalui tembusan Komisi A DPRD DKI Jakarta ;
8. Pihak PT Pelindo dan Pemprov DKI akan memperhatikan orang-orang yang menjadi korban dalam bentrokan. Yakni biaya berobat di rumah sakit dan juga berobat jalan para korban bentrokan akan ditanggung oleh Pemprov DKI ;
9. Kesepakatan terakhir atau kesembilan adalah, pembicaraan antara ahli waris dan PT.Pelindo akan dilangsungkan di Komnas HAM pada Jumat tanggal 16/4/2010.
Ahli waris Habib Hasan Muhammad Al Haddad alias Mbah Priok yakni Habib Alwi Al Haddad, mengaku puas dengan hasil pertemuan ini. Ia berharap, pihak Pelindo tidak akan mengingkari sembilan kesepakatan yang telah dibacakan oleh Wagub Prijanto itu. Sebab selama ini, pihak ahli waris sudah merasa lelah dan tidak menginginkan lagi adanya pertikaian. “Secara keseluruhan saya puas dengan hasil pertemuan ini,” ucap Habib Alwi al Haddad.
Dirut PT Pelindo II, RJ Lino, menyetujui hasil pertemuan mediasi ini dan berjanji akan mematuhi seluruh kesepakatan. Salah satu kesepakatannya adalah untuk merenovasi dan memindahkan pendopo bersama-sama ahli waris. PT. Pelindo menyepakati hasil pertemuan, termasuk merenovasi pendopo dan juga akan dibuatkan Underground Tunnel serta tempat parkir dijalan Jampea. Juga akan membangun pagar di sekelilingnya agar tidak mengganggu kegiatan pelabuhan.
BAB III
PENUTUP


A.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan :
Tragedi Priok II tersebut benar-benar peristiwa yang memilukan dan sekaligus memalukan. Memilukan karena kericuhan sosial terjadi akibat ego arogansi aparatur penegak sipil Satpol PP yang lebih mengedepankan pendekatan represif dibanding komunikasi persuasif. Bentrokan antara personil Satpol PP dan warga pembela situs makam Mbah Priok yang di back up ormas sosial keagamaan yang memiliki ikatan emosional kultural itu menjadi fokus keprihatinan skala nasional.
Yang menyedihkan, setelah terjadi bentrokan muncul berbagai perang opini dan ‘’argumen” yang justru tidak menjadi penyejuk realitas konflik. Wagub DKI Jakarta Prijanto misalnya, mengatakan ada provokator dan ormas yang mendorong warga melawan upaya penertiban makam tersebut. Sementara arus opini mayoritas menyebutkan tindakan personel Satpol PP melanggar prinsip HAM, tidak bijak, dan jauh dari watak humanis.

Dalam perspektif teori transformasi konflik, tragedi tersebut bisa dianalisis dalam berbagai paradigma pemikiran:

Pertama, tragedi tersebut adalah bagian dari spiral kekerasan sosial yang telah melembaga dalam kultur penegakan hukum dan kuasa aparatur negara. Spiral kekerasan yang mengkontaminasi perilaku balasan dari masyarakat yang selama
ini menjadi objek kekerasan personel Satpol PP.Secara sosiologis warga Priok adalah masyarakat pantai yang memiliki karakter sosial yang lugas dan keras. Ketika menerima praktik kekerasan maka mereka justru akan bangkit dalam tindakan yang sama.

Kedua, tragedi itu merupakan mata rantai struktur paralel kekerasan yang lazim terjadi dalam implementasi dari domain penegakan aturan daerah dan ketertiban umum. Berbeda dari kekerasan terhadap elemen masyarakat yang tidak terorganisasi semacam PKL tidak resmi, pengamen, pemukim liar komunitas di Priok terorganisasi dalam kultur keagamaan militan. Para aktor yang melawan arogansi Satpol PP adalah komunitas ‘’santri” yang selama ini beraktivitas ritual-religi di lingkungan makam Mbah Priok. Mereka terusik kehormatan spiritualnya oleh rencana penggusuran makam figur yang mereka hormati.

Ketiga, kericuhan sosial tersebut adalah bukti kegagalan negara dalam merombak karakter psikologis aparaturnya dalam alam demokrasi. Institusi Satpol PP di era demokrasi yang seharusnya lebih bisa memainkan peran sebagai penegak aturan sekaligus sebagai alat komunikasi masyarakat, menempatkan diri sebagai kekuatan antirakyat.

Selama ini memang ada keprihatinan atas apa yang sering dilakukan oleh ”polisi perda” di banyak tempat. Terutama ketika mereka berhadapan dengan masyarakat sipil. Satpol PP alih-alih memainkan peran mediasi, negoisasi prakonflik untuk menjelaskan tugas dan tujuan penertiban. Yang terjadi peran eksekutor yang lebih dikedepankan.

Pemda DKI Jakarta agaknya terlalu yakin dengan upaya penggusuran paksa terhadap areal disekitar situs makam Mbah Priok, tanpa mengindahkan rasa idiologis dan sosiologis masyarakat yang sampai saat ini tetap fanatik bahwa makam Mbah Priok adalah simbol tokoh penyebar agama Islam yang harus dihormati dan tidak boleh diganggu atas dasar apapun.
Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, sedikit sekali anggota Majelis Hakim yang memutuskan perkara hukum di pengadilan mau mempertimbangkan azas hukum yang berkembang di tengah masyarakat. Padahal putusan hukum yang tidak mempertimbangkan sisi sosiologis, filosofis, historis, psikoligis masyarakat dan hanya mementingkan segi penerapan hukum warisan Hindia Belanda saja, jelas akan mengoyak rasa keadilan masyarakat.
Benar apa kata Presiden SBY, hendaknya aparat hukum dan pemerintah lebih mengedepankan pendekatan persuasif dengan mempertimbangan rasa keadilan sosial, psikoligis dan filosofis rakyat dalam menangani setiap masalah yang melibatkan kepentingan publik. Kebijakan yang hanya didasarkan atas tuntutan penegakan hukum semata, apalagi dengan cara pendekatan kekerasan, justru akan menimbulkan kerugian materiil dan imateril yang jauh lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Seandainya sejak awal, Pemprop DKI Jakarta dan Pelindo memfasilitasi pembangunan situs makam Mbah Priuk sebagai situs budaya penyebar agama Islam di Jakarta Utara, tentu persoalan penyelesaian hukumhya tidak akan separah saat ini.

B.Saran

Ada beberapa instrospeksi yang bisa dipetik dari kejadian dari tragedi kasus hukum pembongkaran makam Mbah Priok .

Pertama; sudah waktunya ada perubahan kultur kekerasan yang lazim dilakukan aparatur penegak hukum ketika bersinggungan dengan aspirasi serta kepentingan masyarakat. Kultur kekerasan hanya akan beranak-pinak praktik kekerasan yang sama, bahkan mungkin lebih keras. Perlu ada ruang edukasi transformasi konflik di jajaran penegak hukum agar mereka bisa memahami anatomi konflik sehingga tidak terjebak menjadi aktor penyulut konflik laten-manifes.

Kedua; menagih keseriusan pemerintah pusat-daerah untuk ‘’tidak asal’’ mementingkan syahwat ekonomi dan mengabaikan niat baik konservasi cagar budaya. Kasus itu tidak terjadi bila pemerintah daerah menghormati kawasan situs budaya. Makam Mbah Priok bagaimana pun adalah penanda peradaban Jakarta.

Ketiga; perlunya kesadaran bersama antara komponen ”pemilik” kepentingan terhadap cagar budaya yang memiliki ikatan religio-sosial, dengan pemerintah untuk dalam satu pemahaman mengedepankan dialog yang mutual partnership, ketika terjadi isu penggusuran, dan sebagainya. Sehingga tidak ada politisasi ataupun mobilisasi kepentingan dari kelompok luar.

Tidak ada jeleknya, Satpol PP Jakarta belajar dari Satpol PP di daerah misalnya di Solo yang kini telah memiliki kesadaran ”ideologis” baru. Mereka bekerja untuk penegakan hukum dan ketertiban dengan bersama masyarakat. Watak humanis, toleran dipadukan dengan kebijakan Pemkot Solo yang mencoba nguwongke (memartabatkan) masyarakat marginal.

Setali dengan Dosen Sosiologi Unsoed, Sulyana Daldan, “coba jika yang datang pada waktu itu adalah para pengambil kebijakan dengan benar-benar memosisikan sebagai pelayan warga, berkunjung untuk berdialog dengan warga, mungkin sambutan warga pun akan lain” (Kompas, 16/04/10). Ya, dan tidak perlu menunggu jatuhnya korban untuk memutuskan sikap/kebijakan.



Daftar Pustaka

Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta.
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
-----------. Filsafat Hukum, Cet ke 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta.
Palu (ANTARA News), www. Google
Kompas Online, 16 April 2010.
Jakarta (voa-islam.com).
voa-islam/hidayatullah/tvone
Tempointeraktif.com, 15/04/10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger