Sabtu, 23 Oktober 2010

ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN LISTRIK PADA PT.PLN CABANG PALU

Oleh: J.Alberth Mentang
NPM : 71010139


A.Pendahuluan
Pada tanggal 20 April 1999 diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang mulai efektif berlaku pada 20 April 2000. Apabila dicermati muatan materi UUPK cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat difahami mengingat kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa acapkali merupakan akibat perilaku pelaku usaha, sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku pelaku usaha tersebut diatur, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi yang setimpal. Perilaku pelaku usaha dalam melakukan strategi untuk mengembangkan bisnisnya inilah yang seringkali menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha , pada mulanya berkembang adagium Caveat emptor ( waspadalah konsumen ), kemudian berkembang menjadi Caveat venditor (waspadalah pelaku usaha ). Ketika strategi bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk ( production oriented ), maka di sini konsumen harus waspada dalam menkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini konsumen tidak memiliki banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih banyak dalam posisi didikte oleh produsen. Pola konsumtif masyarakat justru banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring dengan perkembangan IPTEK dan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin lagi mempertahankan strategi bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak akan laku di pasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi bisnisnya ke arah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar (market oriented ). Pada masa ini pelaku usahalah yang harus waspada dalam memenuhi barang atau jasa untuk konsumen. Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang- barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan ( Johannes. Gunawan, 1999 : 44 ).

Di dalam UUPK antara lain ditegaskan, pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan tersebut semestinya ditaati dan dilaksanakan oleh para pelaku usaha. Namun dalam realitasnya banyak pelaku usaha yang kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap kewajiban maupun larangan tersebut, sehingga berdampak pada timbulnya permasalahan dengan konsumen.

Permasalahan yang dihadapi konsumen dalam menkonsumsi barang dan jasa terutama menyangkut mutu, pelayanan serta bentuk transaksi. Hasil temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengenai mutu barang, menunjukkan masih banyak produk yang tidak memenuhi syarat mutu. Manipulasi mutu banyak dijumpai pada produk bahan bangunan instalasi listrik seperti kabel listrik, saklar dinding,stop kontak,steker,adaptor, pemegang bola lampu serta travo dan lain - lain. Selanjutnya, transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha cenderung bersifat tidak balance. Konsumen terpaksa menandatangani perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan oleh pelaku usaha, akibatnya berbagai kasus pembelian mobil, alat-alat elektronik,termasuk pembelian aliran tenaga listrik untuk dialirkan kerumah sekaligus menjadi pelanggan listrik PT.PLN umumnya menempatkan posisi konsumen di pihak yang lemah . Permasalahan yang dihadapi konsumen tersebut pada dasarnya disebabkan oleh kurang adanya tanggung jawab pelaku usaha dan juga lemahnya pengawasan pemerintah.

Secara normatif pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat 1,2 UUPK). Ketentuan ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian dapat ditegaskan apabila konsumen menderita kerugian sebagai akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, berhak untuk menuntut tanggung jawab secara perdata kepada pelaku usaha atas kerugian yang timbul tersebut. Demikian halnya pada transaksi antara konsumen/pelanggan listrik dengan PT.PLN, apabila pelanggan listrik/konsumen menderita kerugian sehingga menyebabkan timbulnya kerugian, maka ia berhak untuk menuntut penggantian kerugian tersebut kepada PT.PLN.

Mengingat penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Negara yang pelaksanaannya dilakukan oleh PT.PLN, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan di Indonesia adalah PT.PLN. Oleh karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat berdasarkan UUD 1945, maka harga jual tenaga listrik diatur oleh pemerintah agar terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga yang wajar.
Harga yang terjangkau adalah harapan seluruh konsumen/pelanggan listrik di seluruh Indonesia tetapi kenyataannya tariff listrik seringkali dinaikkan dengan berbagai alasan dan seringnya terjadi pemadaman listrik bergilir maupun pemadaman listrik yang tidak terencana dengan berbagai alasan pula.

PT PLN Cabang Palu di Sulawesi Tengah selama tiga bulan terakhir terus menggencarkan Operasi Penertiban Aliran Listrik (OPAL) dalam rangka menekan kasus pencurian listrik di Kota Palu. Manajer PT.PLN setempat Nyoman Sujana di Palu, Rabu (9/6/2010) mengatakan, setiap hari dilaksanakan opal, dan petugas PT. PLN berhasil menemukan banyak kasus pencurian aliran listrik di wilayah itu. Ia mengemukakan, kasus pencurian listrik tidak hanya dilakukan kalangan pelanggan rumah tangga, tetapi juga para pelaku bisnis.

Untuk kasus pencurian aliran listrik terbanyak adalah pemakaian daya melebihi dari kapasitas daya terpasang pada meteran KWh. Sujana mencontohkan, untuk daya sebesar 450 KV atau 1.300 KV, yang digunakan bersangkutan sudah sama dengan daya 3.000 atau 6.000 KV. "Pemakaian daya sama sekali tidak tercatat dalam meteran KWh. Otomatis merugikan PT.PLN," kata dia. Selain memberikan peringatan keras, pelaku pencurian juga diharuskan untuk membayar pemakaian daya dari hasil pencurian. "Kalau ternyata masih juga melakukan tindakan tersebut, terpaksa yang bersangkutan diproses hukum, dan meterah KWh terancam dicabut petugas PT.PLN," ujarnya. OPAL juga diberlakukan bagi pelanggan yang menunggak pembayaran rekening listrik hingga tiga bulan. "Bagi pelanggan yang tidak membayar rekening listrik selama tiga bulan, meteran KWh langsung di putus," ujarnya. Selain diputus aliran listriknya, pelanggan juga berkewajiban menyelesaikan utangnya kepada PT.PLN. "Jika utang dibayar, meteran KWh akan kembali disambung, tetapi dikenakan biaya pemasangan baru," kata dia.

Karena itu, Sujana mengingatkan para pelanggan listrik untuk tidak mengabaikan pembayaran rekening listrik, sebab jika lalai hingga tiga bulan, meteran KWh terancam dicabut. Selain itu, sejak awal Maret 2010 ini, biaya keterlambatan (BK) rekening listrik sudah dinaikkan dari Rp 3.000, menjadi Rp5.000 untuk daya 450 KV, daya 900 KV sebesar Rp 10.000, dan daya 1.300 KV Rp 15.000.Masa pembayaran rekening listrik dari tanggal 1 sampai 20 setiap bulan berjalan. "Jika membayar pada tanggal 21, itu berarti sudah kena denda," tambah Sujana. (www. kompas.com ).
Menurut Dahlan Iskan (Direktur Utama PT.PLN), Memikirkan 1.000 kematian sebulan ini tidak ada hubungannya dengan kenaikan TDL, baik yang lalu maupun yang konon akan naik lagi Januari tahun depan.Ini soal kebiasaan di PLN yang sudah lebih dari 30 tahun tidak kunjung berubah : listrik mati dengan alasan sedang dilakukan pemeliharaan travo maupun jaringan, Jaringan tegangan menengah maupun tegangan rendah. Padahal, di Jakarta saja, setiap hari dilakukan 36 pemeliharaan jaringan di 36 lokasi. Ini berarti dalam sebulan terjadi hampir 1.000 kali pemeliharaan, ini hanya di Jakarta. Artinya, dalam sebulan hampir 1.000 kali pula listrik mati secara “sah” di Jakarta.

Pelanggan tentu tidak lagi peduli kematian itu sah atau tidak. Toh akibatnya sama : daging dikulkas busuk, ikan koi di akuarium mati, dan apakah rambut yang tengah di shampoo dikamar mandi harus dibiarkan kering ?
Zaman sudah berubah, tinggal PLN yang belum berubah dibidang ini. Dulu, 30 tahun lalu, orang masih bisa menerima listrik mati, asal jangan malam hari, maka pemeliharaan dilakukan siang hari antara pukul 08.00 sampai pukul 16.00 delapan jam. Dulu belum ada kulkas dan belum ada ikan koi, kalau listrik mati delapan jam, rumah bisa ditinggal kesawah atau kepasar. Dulu ketika pelanggan masih sedikit, komunikasi masih mudah. Setiap kali dilakukan pemeliharaan, PLN masih sempat memberitahu seluruh pelanggan lewat surat, lalu diiklankan di Koran setempat. Tapi, pengumuman seperti itu kini tidak lagi bisa menjangkau seluruh pelanggan.(www.manadopost.com).

B.Tinjauan Pustaka
Consumer is an individual who purchases, or has the capacity to purchases,goods and services offered for sale by marketing institutions in order to satisfy personal or hausehold needs,wants or desires. Sedangkan produsen diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang dikonsumsi oleh pihak atau orang lain. Kata konsument (Belanda) oleh para ahli hukum telah disepakati sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa (uitenindelijk gebruiker van gordern en diesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernemer).
Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen langsung terikat karena perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan undang-undang. Kalau hubungan itu terjadi dengan perantaraan pihak lain, maka terjadi hubungan tidak langsung. Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan ini terjadi karena keduanya saling membutuhkan dan bahkan saling interdependensi. Hubungan pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban.

JF. Kennedy mengemukakan adanya empat hak dasar konsumen (JF. Kennedy dalam Gunawan Wijaya, 2000 : 27):
1.the right to safe products ;
2.the right to be informed about products;
3.the right to definite choices is selecting products ;
4.the right to be heard regarding consumer interest.

Dalam perkembangannya, oleh organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU), empat hak dasar tersebut ditambah dengan : hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan ganti rugi, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di dalam Rancangan Akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang disusun Universitas Indonesia tahun 1992, hak dasar konsumen tersebut dikembangkan dengan ditambah hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ( Prasetyo HP, 1997 : 6 ).

Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek hukum perdata, diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

1.Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van dengenen die zich verbiden ) ;
2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een verbintenis aan te gaan);
3.Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan
4.Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak).

Sedangkan Pasal 1365 KUH Perdata mengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat kesepakatan perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang cenderung tidak balance . Banyak konsumen ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan menjadi tidak ada sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut tidak dipenuhi, maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut ( Subekti, 1992 : 35 ).

Pada umumnya jual beli tenaga listrik antara pelaku usaha (PT.PLN ) dengan konsumen/pelanggan listrik, didasarkan pada perjanjian yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha (perjanjian baku/standar). Perjanjian tersebut mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) dan konsumen hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolak. Kekhawatiran yang muncul berkaitan dengan perjanjian baku dalam jual beli tenaga listrik adalah karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exception clause). Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya dibebankan kepada pelaku usaha. Di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf. a UUPK diatur mengenai larangan pencantuman klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Masalah tanggung jawab hukum perdata (civielrechtelijke aanspraakelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUH Perdata yang mengatur adanya pertanggung jawaban pribadi si pelaku atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid ). Di samping itu, undang-undang mengenal pula pertanggung jawaban oleh bukan si pelaku perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungan-nya, disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Dari pasal ini nampak adanya pertanggung jawaban seseorang dalam kualitas tertentu (kwalitatieve aansprakelijkheid) .

Pada asasnya kewajiban untuk memberikan ganti rugi hanya timbul bilamana ada unsur kesalahan pada si pelaku perbuatan melawan hukum dan per-buatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Jadi harus ada unsur kesalahan pada si pelaku dan perbuatan itu harus dapat dipertang-gungwabkan kepadanya (schuld aansprakelijkheid). Dari segi hukum perdata, tanggung jawab hukum tersebut dapat ditimbulkan karena wanprestasi, perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ), dan dapat juga karena kurang hati-hatinya mengakibatkan cacat badan ( het veroozaken van lichamelijke letsel ).

Di samping itu, di dalam UUPK juga telah diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19. Menurut pasal ini pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian, secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha, sebagai upaya melindungi pihak konsumen.
Secara teoritik, di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diatur beberapa macam tanggung jawab ( liability ) sebagai berikut ( Johannes. Gunawan, 1999 : 45-46 )

1.Contractual Liability
Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha (barang atau jasa) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability (Pertanggungjawaban Kontrak-tual), yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasil-kannya atau memanfaatkan jasa yang diberi-kannya. Selain berlaku UUPK, khususnya ketentuan tentang pencantuman klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUPK, maka tanggung jawab atas dasar perjanjian dari pelaku usaha, diberlakukan juga hukum perjanjian sebagaimana termuat di dalam Buku III KUH Perdata.

2.Product Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Product Liability (Pertanggung jawaban Produk),yaitu tanggung jawab perdata secara langsung ( Strict Liability ) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya.

3.Professional Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar (inspanning-sverbintenis), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Professional Liability (Pertanggung jawaban Profesional), yang menggunakan tanggung jawab perdata secara langsung (Strict Liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya. Sebaliknya, dalam hal terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, dan prestasi pemberi jasa tersebut terukur sehingga merupakan perjanjian hasil (resultaants verbintennis), maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Professional Liability , yang menggunakan tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian (Contractual liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya.

4.Criminal Liability
Dalam hal hubungan pelaku usaha dengan negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat ( baca: konsumen), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Criminal Liability (pertanggungjawaban pidana), yaitu tanggungjawab pidana dari pelaku usaha atas terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen).

Dalam jual beli tenaga listrik terdapat perjanjian antara PT.PLN dengan konsumen/pelanggan listrik. Oleh karena itu tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian / kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen akibat membeli listrik dari PT.PLN .

C.Metode Penelitian
1.Kualifikasi Penelitian
a.Penelitian ini hendak menganalisis tanggung jawab perdata pelaku usaha dalam hal terjadi kerugian konsumen/pelanggan listrik. sebagai upaya perlindungan konsumen. Oleh karena yang dikaji adalah realitas tanggung jawab perdata pelaku usaha terhadap kerugian konsumen, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empirik.
b.Penelitian ini akan menggambarkan secara sistematis, lengkap dan menyeluruh mengenai tanggung jawab perdata pelaku usaha terhadap kerugian konsumen, maka penelitian ini bersifat deskriptif

2.Data Penelitian dan Sumber Data
a.Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama penelitian ini. Data primer berupa hasil wawancara dengan pelaku usaha (PT.PLN Cabang Kota Palu), dan konsumen/pelanggan listrik PT.PLN. Sedangkan data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer. Data sekunder berupa dokumen-dokumen perjanjian jual beli listrik, hasil penelitian, karya ilmiah khususnya yang berhubungan dengan persoalan perlindungan hukum konsumen.
b.Adapun sumber data primer meliputi pelaku usaha (PT.PLN) , konsumen/pelanggan listrik, serta YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Sumber data sekunder meliputi dokumen-dokumen perjanjian jual beli, hasil penelitian, karya ilmiah khususnya yang berhubungan dengan persoalan perlindungan hukum konsumen/pelanggan listrik PT.PLN Cabang Palu..

3.Informan
Dalam penelitian ini, subyek yang diteliti lebih dipandang sebagai informan yang akan memberikan informasi mengenai permasalahan yang hendak diteliti.
Untuk menentukan informan digunakan teknik purposive sampling , yaitu penelitian informan berdasarkan pertimbangan subyektif peneliti, bahwa informan bersangkutan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk penelitian ini.

4.Teknik Pengumpulan Data
a.Wawancara
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data primer. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur (interview guide). Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang sebelumnya telah disusun oleh peneliti. Wawancara dilakukan secara mendalam (in depth interviewing) guna dapat menggali informasi secara lengkap dan menyeluruh.
b.Mencatat dokumen
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Berbagai dokumen yang menjadi sumber data sekunder dikaji substansinya secara cermat dan mendalam, dengan menggunakan metode content analysis guna memperoleh data yang relevan dan dibutuhkan dalam penelitian.

5.Analisis Data
Sesuai dengan data yang dikumpulkan yang berupa keterangan atau informasi, jadi tidak berwujud angka-angka dan tidak dimaksudkan untuk diangkakan, maka teknik analisis yang digunakan bersifat kualitatif.
Sifat dasar analisis ini bersifat induktif, yaitu cara-cara menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, yaitu hasil wawancara dengan informan kearah hal-hal yang bersifat umum. Hanya saja penarikan kesimpulan ini tidak dimaksudkan untuk menarik suatu generalisasi.
Dengan teknik analisis kualitatif ini, hendak disimpulkan dan diungkapkan secara obyektif, sistematik dan menyeluruh mengenai tanggungjawab perdata pelaku usaha dalam hal terjadi kerugian konsumen/pelanggan listrik sebagai upaya perlindungan konsumen.

D.Hasil Penelitian dan Pembahasan
Peraturan Perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum oleh konsumen/pelanggan listrik yang menderita kerugian, untuk menuntut tanggungjawab perdata kepada PT.PLN, sebagai upaya memperoleh perlindungan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 juncto Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Het Herziene Inlandsche Reglement(HIR) Stb. 1941- 44, dan Pasal 45 UUPK, peraturan ini dapat dijadikan dasar hukum untuk mengajukan gugatan perdata kepada pelaku usaha di Pengadilan Negeri. Apabila gugatan perdata itu tidak dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh sekelompok konsumen ataupun lembaga swadaya masyarakat, maka ketentuan hukum yang digunakan yaitu Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (class action). Landasan hukum lain yang dapat dijadikan dasar hukum untuk menuntut tanggungjawab perdata pelaku usaha adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian sengketa dan Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 47 UUPK. Ketentuan ini memberikan kemungkinan bagi penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Selanjutnya penyelesaian sengketa konsumen dapat pula dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 49 sampai dengan 58 UUPK.

Tanggungjawab perdata PT.PLN belum dilaksanakan sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen . Tentang pelayanan PT.PLN memang belum begitu menggembirakan, penelitian yang dilaksanakan di wilayah kerja PT. PLN Wilayah Sulutenggo Cabang Palu yang berlangsung selama dua bulan. dan yang menjadi kelompok sasaran penelitian adalah pelanggan yang melaporkan keluhan dan tercatat pada database dinas pelayanan gangguan PT.PLN Cabang Palu.

Dengan adanya Surat Keputusan Menteri Pertambangan Dan Energi sebagai pedoman yang pasti, baik dari sisi konsumen dan PT.PLN dalam merespon berbagai gangguan yang terjadi dalam penyelenggaran jasa kelistrikan, mendesak kebutuhan adanya standar mutu pelayanan PT.PLN. Dari standar ini baik PT. PLN maupun konsumen mempunyai acuan yang sama. Sehingga ada kejelasan gangguan-gangguan apa saja konsumen mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi, sebaliknya bagi PT. PLN juga mempunyai tanggung jawab yang jelas.

Bahwa setidaknya ada tiga peraturan yang dapat kita jadikan acuan yaitu : UU No.30 Thn 2009 tentang Ketenagalistrikan, Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik dan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02. P/451/M.PE/1991 tentang Hubungan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistikan untuk Kepentingan Umum dan Masyarakat.
Dalam pasal 25 ayat (3) PP No. 10/1989 disebutkan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan PLN wajib :
1.Memberikan pelayanan yang baik ;
2.Menyediakan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu
dan keandalan yang baik ;
3.Memberikan perbaikan, apabila terjadi gangguan listrik ;
4.Bertanggung jawab atas segala kerugian atau bahaya terhadap
nyawa, kesehatan dan barang yang timbul karena kelalainnya.

Disamping keempat kewajiban tersebut di atas, menurut Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02. P/451/M.PE/1991, Pasal 3 ayat (1) huruf e, “PLN wajib memberikan kompensasi berupa reduksi apabila terjadi penghentian sementara penyaluran tenaga listrik, yang berlangsung terus menerus melebihi jangka waktu sampai 3 x 24 jam (tiga kali dua puluh empat jam) dengan ketentuan bahwa peraturan pelaksanaanya diatur Pengusaha dan disahkan Direktur Jenderal Menteri dan pertambangan energi”,sedangkan menurut UU ketenagalistrikan No. 30 Thn 2009 Pasal 28 PLN wajib :

a.Menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan andalan yang berlaku ;
b.Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat ;
c.Memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan ; dan
d.Mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

Apa yang diatur dalam ketiga peraturan tersebut sebenarnya sudah memberi dasar yang kuat tentang arti penting adanya standar mutu pelayanan PT.PLN. Ada dua langkah yang dapat dilakukan sebagai penjabaran ketentuan diatas. Perlunya aturan pelaksanaan yang mengatur lebih detail ketentuan diatas dan mensosialisasikan peraturan tersebut kepada masyarakat luas.

Apabila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat Indonesia berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum.Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ketiga unsur kaidah diatas, sebab (1) apabila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati ; (2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, kaidah itu menjadi aturan pemaksa ; (3) apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). (H.Zainuddin Ali. 2006 ; 94)

Tentang mutu keandalan tenaga listrik PT.PLN misalnya harus ada batas-batas keandalan dan kriteria yang lebih jelas. Disini antara PT.PLN dan konsumen harus ada rasa saling pengertian. PT.PLN harus dapat memahami tuntutan konsumen akan kebutuhan kriteria mutu pelayanan yang jelas. Di sisi lain konsumen juga harus memahami tingkat kemampuan PT.PLN dalam menyediakan tenaga listrik memang belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan seluruh lapisan masyarakat, dan sedikit demi sedikit akan ditingkatkan.

Menyangkut pemadaman listrik misalnya ada beberapa wilayah tertentu yang kwalitas keandalannya baik artinya sudah ditentukan pemadaman tidak boleh lebih dari 20 kali perpelanggan pertahun. Apabila di wilayah tersebut terjadi pemadaman di bawah 20 kali perpelanggan pertahun konsumen harus dapat memahami kemampuan PT.PLN baru sebatas itu. Tetapi apabila pemadaman terjadi lebih dari 20 kali per pelanggan per tahun, disini sudah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan konsumen berhak menuntut kompensasi kepada PT.PLN. Dengan adanya standar mutu pelayanan PT.PLN ada acuan yang sama antara PT. PLN dengan konsumen. Hal ini penting ketika terjadi ketegangan hubungan antara PT.PLN dengan konsumen soal pelayanan PT.PLN dapat diselesaikan berdasarkan tolak ukur yang objektif.

Menurut pasal 4 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor : 76/K/49/M.PE/1993 pelanggan diwajibkan membayar atas pemakaian tenaga listrik setiap bulan. Tidak boleh dengan cara mencicil. Pembayaran rekening listrik disamping dapat dilakukan di loket pembayaran (payment point) yang dikelola bekerjasama dengan 19 Bank pemerintah dan swasta juga dapat dilakukan melalui lalu lintas giralisasi. Pada saat ini ada 43 Bank swasta yang telah mempunyai ikatan kerjasama dengan PT.PLN menyediakan fasilitas bagi nasabahnya berupa pelunasan tagihan listrik yang dipotongkan pada account number pelanggan PT. PLN. Pelanggan tidak perlu berdesak-desakan antri di loket-loket pembayaran.

Menurut pasal 29 Ayat 2 UU Ketenagalistrikan No 30 Thn 2009 Konsumen/Pelanggan listrik wajib :
a.melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin
timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
b.menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;
c.memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;
d.membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan
e.menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan

Kasus melonjaknya voltase listrik dari 220 volt menjadi 380 volt, berakibat rusaknya ratusan alat-alat listrik milik warga telah menimbulkan reaksi. Reaksi yang paling keras tentu saja dari warga yang menjadi korban kejadian tersebut. Kemudian PT.PLN selaku penyelenggara jasa kelistrikan yang juga telah melahirkan berbagai komentar dari para pakar hukum.

Dari berbagai reaksi tersebut sebenarnya inti pokok persoalannya pada hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dalam hal ini PT.PLN selaku produsen jasa kelistrikan dan warga selaku konsumen. Reaksi konsumen untuk menuntut kerugian, misalnya merupakan pencerminan dari adanya kesadaran bahwa sebagai konsumen mereka punya hak. Sebaliknya sikap tegas PT. PLN akan memberi ganti rugi kepada konsumen lebih jauh lagi apabila peristiwa yang serupa terulang kembali, memotong gaji pejabat PT.PLN adalah cerminan sikap tanggung jawab PT.PLN sebagai penyelenggara jasa kelistrikan.

Kondisi ideal hubungan antara PT.PLN dengan pelanggan listrik adalah keduanya melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing tanpa harus ada paksaan atau tekanan dari pihak ketiga. Namun demikian kalau kita teliti lebih jauh reaksi kedua belah pihak (PLN dan pelanggan) sebenarnya lebih bersifat reaksi yang spontan. Bukan merupakan sikap yang didasari pada aturan transparan yang mengharuskan mereka bersikap seperti apa yang mereka lakukan dalam merespon kejadian-kejadian tersebut.
Dari sisi konsumen, mereka menuntut ganti rugi dilatarbelakangi oleh :
1.Sebagai warga masyarakat menengah ke bawah alat - alat rumah
tangga yang rusak akibat adanya gangguan dan pemadaman listrik mendadak memiliki nilai ekonomi yang tinggi;
2.Konsumen berontak menuntut ganti rugi ketika dihadapkan pada
situasi penderitaan dahsyat sebuah gejala umum perilaku konsumen di Indonesia.

Sikap konsumen berani menuntut ganti rugi masih perlu diuji konsistensinya, manakala sebagai konsumen jasa kelistrikan dihadapkan pada kasus pelanggaran yang tingkat gradasinya lebih rendah, seperti kasus :
1.Tingginya frekuensi pemadaman listrik;
2.Kasus labilnya voltase listrik walaupun tidak sampai merusak alat –
alat elektronik tetapi telah menjadikan alat-alat tersebut tidak berfungsi secara optimal.

Dari sisi PLN sikap tegasnya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen dilatarbelakangi oleh :
1.Tingkat gangguan pelayanan listrik sudah sampai pada batas, di -
dimana penyelesainya tidak cukup hanya dengan meminta maaf;
2.Kasus ini sudah tersebar luas ke masyarakat melalui media massa.

Bentuk reaksi PLN dalam menanggapi kasus ini sangat berpengaruh terhadap citra PLN di masyarakat.
Untuk dapat dikatakan seseorang atau badan hukum /usaha/ lembaga lainnya menjadi pelanggan/Konsumen PT PLN setelah semua persyaratan dipenuhi dengan membayar biaya penyambungan (BP), Uang jaminan langganan (UJL), dan menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) diatas meterai, sejak saat itu telah menjadi pelanggan/konsumen PT PLN kemudian menyusul pembuatan rekening listrik berdasarkan pembacaan meteran, Pemakaian kwh bulan berjalan untuk menentukan penagihan rekening listrik. Adapun perlindungan hukum yang diberikan terhadap pelanggan/konsumen PT PLN Persero yaitu hanyalah berupa pelanggan yang mengalami gangguan pemadaman (jumlah waktu padam yang dialami konsumen dalam satu bulan) atau, jumlah gangguan ( banyaknya kejadian pemadaman yang dialami konsumen dalam satu bulan), serta kesalahan pembacaan KWH meter .

Kemudian apabila pelanggan/konsumen mengalami gangguan pemadaman listrik dan kesalahan pembacaan KWH meter, maka berdasarkan Kep.DIRJEN Listrik Dan Pemanfaatan Energi tanggal 27 Januari 2004 No.30-12/40/600.3/2004 tentang tata cara pengurangan tagihan listrik akibat tidak terpenuhinya standar mutu pelayanan pada perusahaan (Persero) PT PLN untuk lama gangguan, jumlah gangguan dan atau kesalahan pembacaan KWH meter. Dalam keputusan Dirjen tersebut pasal 3 disebutkan besaran ganti rugi yang dapat diajukan oleh pelanggan/konsumen yaitu Pengurangan tagihan listrik kepada konsumen sebesar 10 % (Sepuluh persen) dari biaya beban konsumen dan diperhitungkan pada tagihan listrik bulan berikutnya.

Pengurangan tagihan listrik terus diberlakukan selama kondisi gangguan masih ada dan konsumen berhak menagih kepada unit pelayanan setempat. Pelaksanaan Mutu pelayanan untuk masing-masing indikator pelayanan dapat ditetapkan secara berbeda untuk setiap Cabang/ Area Pelayanan/ Unit/ Rayon dan ranting.
Dari hasil pemaparan diatas, maka dapat diketahui bahwa bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh PT.PLN Cabang Palu terhadap para pelanggan yang mengalami kerugian dan atau kerusakan yaitu dengan memberikan ganti rugi terhadap kerusakan yang diderita para pelanggan meskipun sebagian pelanggan tidak merasa puas dengan ganti rugi tersebut. Hal ini sebagai implementasi dari peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Pasal 19 Undang Undang Perlindungan Konsumen tentang tanggungjawab pelaku usaha.

Hingga sampai saat ini di kota Palu belum dibentuk BPSK Sehingga para konsumen/pelanggan listrik melaporkan pengaduannya hanya melalui YLKI sebagai sarana perantara antara PT.PLN dan pelanggan listrik di Kota Palu, masalah kerugian yang dialami oleh pelanggan listrik selaku konsumen ini diselesaikan oleh YLKI dengan jalan damai melalui cara mediasi dan negosiasi. Pelanggan listrik/konsumen sebagai pihak korban lebih memilih menerima tawaran ganti rugi secara kekeluargaan yang diberikan oleh pelaku usaha meskipun ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen dan enggan melanjutkan kasus ini lebih jauh kepengadilan dengan alasan biaya dan juga keengganan berurusan dengan pihak yang berwenang. Hal ini membuktikan bahwa walaupun hak-hak konsumen sudah diatur dan dijamin dalam hukum positif seperti KUHPerdata, Undang Undang Ketenagalistrikan, Undang Undang Perlindungan Konsumen, tetapi konsumen kurang menyadarinya, atau mungkin tidak tahu akan hak-haknya sendiri.Sedangkan YLKI adalah sebagai lembaga advokasi yang melindungi kepentingan masyarakat pelanggan listrik/konsumen yang sering dirugikan dengan masalah kelistrikan di Sulawesi Tengah secara khusus dikota Palu, YLKI tidak konsisten untuk dapat bertindak lebih jauh menfasilitasi pengaduan masyarakat yakni pelanggan listrik agar dapat dilakukannya upaya hukum dengan cara menggugat di BPSK Makassar ataupun menggugat melalui pengadilan setempat terhadap kerugian yang dialami konsumen/pelanggan listrik dikota Palu.

Dari hasil penelitian penulis tentang tingginya pengaduan masyarakat pelanggan listrik dikota Palu kepada PLN dan YLKI adalah mengenai tuntutan kerugian dari kerusakan beberapa peralatan elektronik milik masyarakat pelanggan listrik yang diakibatkan adanya pemadaman terencana dan pemadaman tidak terencana serta kerugian konsumen dengan adanya penyambungan baru illegal.

Dalam kurun tiga tahun terakhir pemadaman listrik terjadi bukan saja dikota Palu akan tetapi hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami pemadaman secara bergiliran akibat krisis listrik. Seharusnya pemerintah memperhatikan masalah krisis listrik yang terjadi selama ini, karena banyak masyarakat yang dirugikan.

Sikap tegas PLN mengganti rugi kepada masyarakat, juga masih perlu diuji lagi, khususnya dalam menanggapi peristiwa sejenis di masa yang akan datang. Apakah PLN juga akan mengganti rugi terhadap berbagai gangguan-gangguan kecil yang sering dialami oleh konsumen. Seperti tingginya frekuensi kasus pemadaman yang tidak terencana dan lain-lain.

Dari hasil penelitian juga diketahui, bahwa tidak ada satupun klaim yang diajukan diteruskan sampai ke Pengadilan Negeri. Tanggungjawab yang ditunjukkan oleh PT.PLN ini memang sejalan dengan ketentuan Pasal 19 UUPK, yang pada pokoknya menegaskan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan / kerugian konsumen, dan ganti rugi itu dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang yang serupa atau senilai harganya.

Menurut UUPK prosedur hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang menderita kerugian, untuk menuntut pertanggung jawaban perdata kepada PT.PLN adalah dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Gugatan yang diajukan didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Di samping itu dapat juga dilakukan gugatan secara class action apabila diajukan oleh sekelompok konsumen ataupun oleh lembaga swadaya masyarakat. Gugatan secara class action juga daijukan kepada Pengadilan Negeri. Sebenarnya undang-undang (Pasal 49 UUPK) mengatur soal penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan oleh suatu lembaga yang disebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ), namun untuk wilayah Kota Palu, badan semacam itu belum terbentuk.

E.Simpulan
Peraturan Perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum oleh konsumen/pelanggan listrik yang menderita kerugian, untuk menuntut tanggungjawab perdata PT.PLN, sebagai upaya memperoleh perlindungan hukum yakni UUPK, HIR, UU No.2 Tahun 1986, PERMA No. 1 Tahun 2002, UU No. 30 Tahun 1999.Tanggungjawab perdata pelaku usaha PT. PLN Cabang Palu belum dilaksanakan sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen.Prosedur hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang menderita kerugian, untuk menuntut pertanggungjawaban perdata kepada PT.PLN yaitu dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan negeri, atau gugatan class action, ataupun melalui BPSK.

F.Saran
Agar hak dan kewajiban konsumen/pelanggan listrik maupun hak dan kewajiban pelaku usaha/PT.PLN mendapatkan perlindungan secara wajar, perlu kiranya upaya terus-menerus untuk melakukan sosialisasi Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Dengan semakin banyaknya kasus mengenai konsumen yang terjadi, dan agar kepentingan konsumen secara umum mendapatkan perlindungan yang memadai, kiranya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen khususnya untuk wilayah Kota Palu, segera dapat dibentuk.

G.Daftar Pustaka
Widjaya,Gunawan. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, cet Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
---------------------,Filsafat Hukum, cet ke 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Evianto,Hady.1999. Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar Keinginan Melainkan Suatu Kebutuhan. Hukum dan Pembangunan. Nomor 6 Tahun XVIII. Desember 1990. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Syawali,Husni. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung : Mandar Maju.
Gunawan,Johannes. Tanggungjawab Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Jurnal Hukum Bisnis. Volume 8 Tahun 1999. Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta : Grasindo.
Subekti. 1992. Hukum Perjanjian . Jakarta : Pradnja Paramita.
Badrulzaman,Mariam Darus. 1986. Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar). Jakarta : Binacipta.
Purwandoko,Prasetyo Hadi. 1997. Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen. Makalah, Disampaikan Pada Seminar Nasional Perlindungan Konsumen Dalam Era Pasar bebas. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNS, Tanggal 15 Maret
BW/KUHPerdata.Cet.20 Jakarta, Pradnya Paramita, 1986
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42. Tahun 1999.
Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 30 Thn 2009 tentang Ketenagalistrikan,
http://www.kompas.com. 2010.
Memikirkan 1.000 Kematian Sebulan.http://www.manadopost.Tahun 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger