Kamis, 16 Desember 2010

Janur Kuning, Simbol Perlawanan

RUUK DIY
Janur Kuning, Simbol Perlawanan
Rabu, 15 Desember 2010 | 18:55 WIB
KOMPAS/ENY PRIHTIYANI
Janur kuning menghiasi komplek kantor Bupati Bantul, Selasa (14/12/2010). Daun kelapa yang masih muda tersebut menjadi simbol perlawanan warga Bantul terhadap pemerintah pusat yang memaksakan mekanisme pemilihan untuk jabatan Gubernur dan Wagub DIY.
TERKAIT:

* Pemerintah Tak Paham Demokrasi
* Waduh, Bendera Keraton Mulai Dikibarkan
* Maarif: DPR Harus Pakai Telinga Batin
* TK Diminta Jadi "Juru Damai" SBY-Sultan
* Pemerintah Didesak Segera Kirim RUUK DIY

KOMPAS.com — Sejak Senin (13/12/2010) pagi, janur kuning menghiasi Bantul Kota. Hingga hari ini, daun kelapa yang masih muda tersebut masih tetap terpasang. Janur kuning tersebut memang sengaja tidak dilepas karena menggambarkan sikap Bantul terhadap polemik keistimewaan DI Yogyakarta.
Janur kuning sekaligus menjadi simbol perlawanan bagi siapa saja yang menghalang-halangi keistimewaan DIY.
-- Bambang Legowo

Janur kuning dipasang di pohon-pohon di sepanjang ruas Jalan Bantul dari perempatan Cepit hingga perempatan Gose. Di kompleks kantor bupati, janur kuning bahkan dibuat menjadi dua gapura utama.

Menurut Kepala Kantor Humas Bantul Bambang Legowo, pemasangan janur kuning menjadi simbol sikap warga Bantul yang pro-penetapan. "Janur kuning sekaligus menjadi simbol perlawanan bagi siapa saja yang menghalang-halangi keistimewaan DIY. Intinya kami mendukung penuh penetapan," ujarnya, Rabu (15/12/2010).

Janur kuning juga pernah menginspirasi sutradara Alam Rengga Surawidjaya untuk membuat film berjudul Janur Kuning pada tahun 1979. Dalam film perjuangan tersebut, janur kuning adalah lambang yang dikenakan para pejuang di lengan sebagai tanda perjuangan merebut kemerdekaan.

"Bedanya kalau dulu janur kuning menjadi simbol perlawanan kepada kompeni, sekarang musuhnya adalah pemerintah pusat," kata Herman (45), salah seorang warga Bantul.

Sebagai wilayah yang pernah menjadi pusat dari Kerajaan Mataram, Bantul sangat menghargai keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pusat Mataram Islam pernah menempati wilayah Pleret Bantul. Saat itu Mataram dipimpin oleh Sultan Agung. Bukan hanya itu, makam raja-raja Mataram juga berada di wilayah Imogiri.

"Makanya kalau Keraton diotak-atik, kami juga ikut merasakan karena ikatan kami dengan mereka sangat kuat. Banyak warga Bantul menjadi abdi dalem di Keraton," kata Wasim, salah satu abdi dalem yang mengurusi makam raja-raja.

Ikatan emosional warga Bantul dengan Keraton juga terlihat dari pemanfaatan lahan Sultan Ground, khususnya di wilayah pesisir Selatan. Di daerah tersebut lahan Sultan Ground dikelola petani menjadi lahan pertanian subur. Tak heran jika mereka merasa berutang budi terhadap Keraton.

Gunardi, salah seorang petani di Desa Srigading Sanden Bantul mengatakan, jika Keraton tidak merelakan lahannya dikelola warga, kemiskinan di pesisir selatan akan sulit teratasi. Warga memanfaatkannya untuk bertanam bawang merah dan cabai.

Dari pertanian bawang merah, Gunardi bisa membeli rumah dan dua unit sepeda motor. "Semuanya ini tidak mungkin saya dapatkan jika tidak mengelola Sultan Ground. Makanya begitu keistimewaan dipersoalkan, kami pun merasa terusik. Kami merasa sudah banyak berutang budi dengan Keraton sehingga kalau yang ngotak-atik, kami pun siap membantu," papar Gunardi.

Tak hanya dari kalangan warga, dukungan secara politis terkait keistimewaan juga muncul dari Bupati Bantul Sri Suryawidati. Secara tegas ia menyatakan dukungannya kepada keistimewaan dengan mekasnime penetapan bagi gubernur dan wakil gubernur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger