Jumat, 03 Desember 2010

Kini Ibu Kota Akan Dipindahkan Ke Palangkaraya

Ibu Kota Pindah
Siapa Mau Ikut?



Panas, terlalu padat, macet di sana-sini, polusi, dan tidak aman. Keluhan dan omelan seperti ini bukan barang baru. Jakarta dianggap sudah tidak nyaman lagi untuk ditinggali. Toh, kenyataan itu tak serta-merta membuat orang berpaling dari Jakarta dan angkat kaki.
Gagasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memindahkan ibu kota Indonesia untuk menguraikan kepadatan Jakarta, ibarat secercah harapan baru bagi Jakarta. Tapi... bagaimana jika warga Jakarta (dan warga kota lain) ramai-ramai boyongan ke ibu kota baru dan malah membuat ibu kota yang baru itu menjadi ‘kembaran’ Jakarta?

HARAPAN BAGI WARGA JAKARTA
Konon, mendiang Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta, pernah menyatakan, Kota Jakarta dirancang oleh Belanda untuk menampung 800.000 orang saja. Bayangkan, apa jadinya ketika sekarang area dengan luas sekitar 660 km² ini dipadati oleh nyaris 10 juta jiwa?
Apalagi, kini jumlah penduduk yang tinggal di daerah Jabodetabek mencapai angka 23 juta. Pada hari kerja, Jakarta juga dipenuhi para pelaju yang pulang-pergi setiap hari dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Akibatnya, pada Senin hingga Jumat, jumlah penduduk Jakarta melonjak menjadi 12 juta.

Hasil survei femina terhadap 100 responden (semuanya warga Jakarta) mengungkap, 68% mantap menyetujui rencana pemindahan ibu kota itu. Alasannya, sudah tidak tahan lagi dengan ketidakteraturan Jakarta di mana-mana. Mau bagaimana lagi, sekarang ini Jakarta memang menjadi pusat segalanya. Ya pusat bisnis dan ekonomi, ya pusat pemerintahan, ya pusat pembangunan.

Vokalis David ‘Naif’ (34) adalah salah satu yang menanti-nanti rencana itu terwujud. “Agar pembangunan Indonesia merata dan tidak tersentral di Jakarta dan di Pulau Jawa saja,” tuturnya, bijak. Rupanya, David telah sejak lama mendambakan sebuah kota yang bisa ia tinggali dengan nyaman. Menurutnya, Jakarta kini bukan lagi tempat yang ideal untuk itu.

“Pusat pemerintahan akan lebih baik dipisahkan dari pusat bisnis. Biar saja pusat bisnis tetap di Jakarta, sedangkan pemerintahan dilakukan di tempat lain, yang jauh dari keramaian,” ungkap David. Pendapat ini muncul setelah ia melihat negara-negara lain di dunia, yang berhasil memindahkan ibu kotanya.

Cempaka Asriani (24), mahasiswi pascasarjana, melihat, pemisahan pusat pemerintahan dan bisnis akan efektif untuk menjaga kestabilan keamanan. Apalagi, keduanya memiliki fokus aktivitas berbeda. “Apa jadinya kalau Jakarta kembali diguncang bom dari teroris karena alasan politis? Perdagangan pasti langsung terkena imbasnya juga,” tuturnya.

Sementara itu komedian Tike Priyatnakusumah (33) menyikapinya dengan realistis. Menurutnya, jika pusat pemerintahan tak lagi berada di Jakarta, setidaknya kemungkinan besar tak
akan ada lagi demonstrasi massa yang membuat jalanan makin macet.

“Bisa jadi penduduk Jakarta yang doyan demo akan mengangeni masa-masa ketika mereka bisa dengan mudah mendatangi gedung pemerintahan dan berunjuk rasa.

Kan malas juga kalau harus rame-rame pergi dulu ke ibu kota baru,” ujar Tike berandai-andai, sambil tertawa. Yang jelas, demo di istana dan DPR nanti membutuhkan dana transportasi dan akomodasi yang tinggi!

Tapi, rupanya, ada 32% responden yang tak setuju rencana ini. Sebanyak 43% beranggapan, memindahkan ibu kota itu sama saja dengan menghambur-hamburkan anggaran dana negara, sedangkan 42% sangsi rencana ini berjalan dengan mulus. Karena, jika pindah ibu kota, berarti harus membentuk kota pemerintahan kembali dari nol. Bahkan, 15% menganggap ini hanya akal-akalan pemerintah supaya bisa lari dari masalah.

BUKAN SOLUSI TEPAT
Rencana kepindahan ibu kota ini ternyata ditindaklanjuti serius oleh SBY dengan membentuk sebuah tim kecil. Namun, memindahkan ibu kota tak bisa seperti sulap. Pembangunan pusat pemerintahan baru tersebut diperkirakan bisa memakan waktu hingga 10 tahun! Yang dipindahkan pun hanya pusat pemerintahan, sedangkan pusat bisnis kemungkinan besar akan tetap berada di Jakarta.

Maklum, selama 46 tahun (berdasarkan UU No 10 Tahun 1964) menyandang status sebagai ibu kota secara resmi, membuat Jakarta memancarkan daya magis yang membius para calon pendatang. Hingga kini Jakarta melulu dilihat sebagai tujuan utama mengadu nasib.

Membangun sebuah kota baru agar layak menjadi sebuah ibu kota, berarti harus menata ulang segalanya. Tak hanya membangun gedung-gedung pemerintahan baru, namun juga struktur sosial baru. Tentu saja hal ini menimbulkan pro dan kontra.

Sebagai pengamat tata ruang kota, Direktur Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Wicaksono Sarosa beranggapan, melihat sejarah, memindahkan ibu kota itu akan menelan biaya sangat besar. Bahkan, lebih besar daripada perkiraan, yang katanya bakal mencapai 100 triliun rupiah.

“Lebih baik jika dana yang besar itu digunakan untuk meningkatkan infrastruktur kota-kota di luar Pulau Jawa dan mengembangkannya sebagai pusat bisnis. Dengan demikian, perhatian masyarakat tak hanya tertuju pada Jakarta. Langkah ini justru akan lebih efektif,” ungkap Wicak.

Jika tujuan pemindahan ibu kota itu adalah karena ingin membenahi Jakarta, bukan karena alasan keamanan, ia menyarankan agar pemerintah mencari akar permasalahan, seperti membenahi tata ruang kota dan sistem transportasi. “Pindah ibu kota tidak menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta. Karena, kalau pusat pemerintahannya saja yang dipindah, jumlah warga yang ikut pindah tidak signifikan. Paling hanya pegawai pemerintahan pusat dan keluarganya.”

Idealnya, menurut Wicak, sebuah kota yang baik itu harus nyaman sebagai tempat tinggal dan beraktivitas. Jika pada akhirnya menjadi ibu kota, pemerintah hanya perlu menambahkan ‘aksesori’ yang mengandung unsur-unsur simbolisme, seperti istana negara sebagai pemersatu.

Niat pemindahan ibu kota dari Jakarta ini sebenarnya sudah lama diungkapkan. Mendiang mantan Presiden Soeharto pernah berencana memindahkan ibu kota ke Jonggol, Jawa Barat. Karena, letaknya masih relatif dekat dengan Jakarta, sehingga dapat menghemat biaya pemindahan ibu kota. Selain itu, infrastruktur dan lahan yang tersedia cukup luas.

Sebelum itu, pusat pemerintahan Indonesia sudah berpindah tempat beberapa kali. Pada pemerintahan Belanda, Jakarta yang secara de facto menjadi ibu kota negara karena dijadikan pusat pemerintahan, sempat dipindah ke Bandung pada 1942. Alasan Belanda saat itu: Jepang telah menguasai Jakarta.

Setelah kemerdekaan, Presiden Soekarno memindahkan ibu kota ke Yogyakarta (1946-1948), karena alasan keamanan. Lalu, ibu kota pindah lagi ke Bukittinggi, Sumatra Barat, yang masih dipenuhi hutan belantara (1948-1949). Alasannya, Yogyakarta sudah kembali jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. Baru pada 1950, Jakarta kembali menjadi ibu kota, meski masih secara de facto. Tahun 1959, Soekarno baru mengeluarkan Penpres No.6 Tahun 1959 yang menyatakan Jakarta sebagai ibu kota Indonesia.

Desas-desus mengabarkan, kini ibu kota akan dipindahkan ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Selain karena luas wilayah dan kepadatan penduduknya yang masih rendah, kota tersebut dianggap sebagai kota paling tertib dan teratur saat ini. Ditambah lagi, Pulau Kalimantan tidak memiliki gunung berapi dan relatif paling aman dari gempa. Jadi, sebagai kota pemerintahan, Palangkaraya relatif aman.

Ternyata, usulan tentang Palangkaraya juga bukan usulan baru. Pada tahun 1957 Soekarno bahkan pernah mengusulkan Palangkaraya sebagai ibu kota baru. Sebab, sebagai kota yang terletak di tengah hutan Kalimantan, Palangkaraya adalah satu-satunya ibu kota provinsi yang dibangun setelah kemerdekaan.

MAU IKUT PINDAH?
Lalu, sekiranya jadi pindah, apakah orang akan berbondong-bondong pindah ke ibu kota baru? Dari survei terungkap, hanya 14% warga Jakarta yang berniat pindah ke ibu kota baru. Alasannya, karena sudah putus asa dengan Jakarta, yang menurut mereka, tak akan menemukan solusi untuk memperbaiki diri dalam waktu dekat. Sementara, 34% masih mempertimbangkan hal tersebut, misalnya jika memang pekerjaan mengharuskan, dan 52% mantap menetap di Jakarta yang sudah kadung mereka cintai.

“Selama pusat bisnis dan perputaran uang masih di Jakarta, saya rasa masih banyak orang yang akan menetap di sini. Pasti akan masih banyak juga orang yang punya mobil lebih dari satu dan bikin macet,” komentar Tike, yang tetap akan tinggal di Jakarta, karena ia merasa pekerjaannya tetap akan terpusat di kota ini.

“Saya pikir, akan tetap terjadi masalah yang sama, yaitu ledakan urbanisasi. Ibarat semut mencari gula, di mana pun ibu kota berada, masyarakat akan tetap mengikuti,” ungkap Theresia Cahyeni (29), wiraswasta. Apalagi, Jakarta sebagai sebuah ibu kota sudah dipenuhi oleh semua fasilitas publik terbaik, misalnya bandar udara, pelabuhan, rumah sakit, hingga pusat perbelanjaan terbesar. “Bukan tak mungkin, ibu kota yang baru dituntut untuk memiliki semua fasilitas tersebut.”

Yoshi Febrianto (33), konsultan humas, juga menyangsikan rencana perpindahan tersebut. Menurutnya, hal ini hanya akan menimbulkan pemborosan. “Kalau hal itu sampai terjadi, bukan tak mungkin segalanya akan jadi lebih mahal dan repot,” tutur Yoshi. Ia mencontohkan, jika kantor-kantor nanti berkiblat ke pusat pemerintahan baru dan memaksa pindah ke sana juga, mau tak mau para karyawan dan keluarganya harus ikut boyongan.

Bagaimana dengan warga Palangkaraya sendiri? Mereka mau, nggak, sih, kotanya dijadikan pusat pemerintahan? Trisa Eka Ampung (28), Pegawai Negeri Sipil, berpikir, tak ada salahnya jika Palangkaraya dijadikan ibu kota, mengingat wilayah yang masih sangat luas.

Menurutnya, sudah saatnya suku Dayak hidup berbaur dengan suku-suku pendatang lainnya. “Asalkan, pemerintah mempersiapkan tata kotanya dengan matang dan bisa mengomunikasikannya pada masyarakat luas, bahwa yang pindah hanya pusat pemerintahannya, bukan pusat bisnis,” tuturnya.

Wicak mengungkapkan, kalau akhirnya akan pindah, sebaiknya memang dipindahkan ke kota yang jauh sekalian. Jangan ke Jonggol. Sehingga, para pelaju dari sekitar Jakarta tidak malah memadati ibu kota baru. Kalau pindahnya jauh, orang kan akan berpikir panjang untuk ikut pindah,” tuturnya.

Penulis: Stephanie Mamonto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger